Siang itu, Kawah Putih memamerkan pesonanya yang memukau. Danau berwarna hijau toska terhampar tenang di bawah sinar matahari yang cerah, menciptakan pemandangan yang kontras dengan tebing-tebing batu kapur di sekitarnya. Kabut tipis sesekali bergulung di atas permukaan air, seolah menari bersama angin yang berembus sepoi-sepoi. Udara pegunungan yang sejuk menyelimuti kalian, menambah kesan damai di tengah alam yang liar dan indah. Di tepian danau, kalian berjalan santai, menikmati pemandangan dan sesekali berhenti untuk mengambil foto
Namun, di sela-sela itu, ponsel Ben berdering. Dia melirik layar sebentar, lalu menjauh sedikit untuk menjawab telepon itu. Kamu bisa mendengar suaranya yang ramah di telepon, berbicara singkat dengan nada antusias. Setelah beberapa saat, dia menutup telepon dan kembali padamu, senyumannya tampak sedikit canggung.
“Temen-temen kuliahku ngajak ketemuan,” ujarnya sambil menggaruk belakang kepalanya. “Ada reuni kecil-kecilan di kafe dekat alun-alun. Tapi aku bisa tolak, kok, kalau kamu—”
“Enggak, enggak,” potongmu cepat. “Kamu pergi aja. Aku nggak apa-apa di sini. Kan, ada temen-temenku juga. ”
Ben menatapmu penuh keraguan. “Kamu yakin? Aku nggak mau ninggalin kamu.”
Kamu tersenyum, mencoba menenangkan keraguannya. “Aku beneran nggak apa-apa, Ben. Udah lama kan kamu nggak ketemu mereka. Kesempatan kayak gini nggak selalu datang, lho.”
Ben terlihat masih ragu, tapi akhirnya dia mengangguk perlahan. “Hmmm. Kalau gitu aku pamit, ya. Kamu beneran gak apa-apa, kan, aku tinggal?”
“Iya, Ben. Aku beneran gak apa-apa, kok. Kamu jangan khawatir, ya.”
Dengan sedikit bimbang, Ben melangkah pergi setelah mengecup keningmu, sesekali menoleh ke arahmu seakan ingin memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja. Kamu melambai kecil, memberi isyarat bahwa dia boleh pergi dengan tenang.
Setelah kepergian Ben, suasana terasa berbeda. Haka dan Dunia masih mengobrol dengan santai di dekatmu, sementara Deby sedang asyik berfoto di spot-spot menarik. Kamu mencoba menikmati pemandangan, tapi dinginnya angin pegunungan membuatmu mulai menggigil. Kamu melipat kedua lengan di dada, berusaha menghangatkan diri.
“Dingin, ya?” Suara Dunia tiba-tiba terdengar di sampingmu. Dia melongokkan kepala ke arahmu, raut wajahnya khawatir. Tanpa banyak bicara, dia melepas jaket tebal yang dipakainya dan menyerahkannya padamu.
“Nih, pake.”
Kamu menggeleng cepat. “Nggak usah, Dun. Elo sendiri pasti juga kedinginan. Gue lupa tadi gak pake baju yang tebel.”
Tapi Dunia menggeleng tegas, memasang wajah keras kepala yang sudah sangat kamu kenal. “Udah, nggak apa-apa. Gue nggak bakal kedinginan, kok. Pakai aja.”
Sebelum kamu sempat menolak lagi, dia dengan setengah memaksa menyampirkan jaketnya di bahumu. Kehangatan jaket itu langsung merambat ke seluruh tubuhmu, tapi rasa hangat yang paling terasa justru berasal dari perhatian Dunia yang tiba-tiba saja membuat dadamu sesak.
“Makasih, Dun,” ucapmu pelan, hampir berbisik.
Dunia hanya tersenyum tipis. “Gue nggak mau liat lo sakit. Apalagi besok hari penting lo, kan.”
Saat itu juga, Deby kembali dari sudut yang lebih jauh. Dia langsung menghampiri kalian dengan tatapan heran melihat jaket Dunia yang kini ada di tubuhmu. Bibirnya mengerucut, nada suaranya terdengar manja dan sedikit merajuk.
“Duh, dingin banget, ya.Dunia, kamu nggak kasih jaket buat aku?”
Kamu bisa merasakan kecanggungan yang tiba-tiba muncul. Dunia menoleh ke Deby, lalu ke arahmu.