Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #18

Luka yang Tertinggal

Hari pertunangan tiba. Sebuah rumah mewah yang dikelilingi oleh taman hijau dengan barisan tanaman hias tertata megah menjadi saksi bisu dari acara istimewa ini. Udara sejuk, diselingi desiran angin lembut yang mengayunkan renda-renda pada tenda putih berbentuk persegi panjang, menciptakan suasana yang begitu magis. Tenda itu dihiasi dengan tirai berlapis-lapis yang menjuntai hingga ke tanah, menjadikan setiap sudut ruangan terlihat elegan dan menawan.

Lampu-lampu kristal bergantungan di langit-langit, memancarkan kilau hangat keemasan yang membias pada kilauan gaun-gaun tamu yang hadir. Setiap meja dihias dengan rangkaian bunga mawar putih dan anggrek ungu, memberikan aroma manis yang menguar pelan-pelan, menenangkan hati siapa saja yang menghirupnya. Gelas-gelas kristal tersusun rapi di atas meja, mencerminkan cahaya lilin yang berpendar lembut, mempertegas keanggunan yang tak terbantahkan.

Di tengah halaman, ada lantai dansa marmer yang memantulkan bayangan para tamu yang berbaur, berbincang, dan tertawa. Sebuah band kecil memainkan musik klasik yang lembut, mengiringi percakapan-percakapan ringan yang bergaung di antara deretan tawa. Sejenak, segalanya terasa seolah-olah diambil dari sebuah dongeng, penuh kesempurnaan yang memukau mata dan menghangatkan perasaan.

Ketika denting piano mulai berubah menjadi melodi yang lebih lambat, Ben mengulurkan tangannya, menatapmu dengan senyum menenangkan. “Mau dansa?” tanyanya pelan.

Kamu mengangguk, dan tanganmu terulur, menerima genggamannya. Dia membimbing kamu ke tengah lantai dansa. Saat tangan Ben melingkar lembut di pinggangmu, kamu bisa merasakan kehangatan yang terpancar darinya. Kalian mulai berayun pelan, tubuh kalian bergerak seirama dengan alunan musik yang romantis.

Di seberang sana, kamu bisa melihat Deby dan Dunia yang juga berdansa, wajah mereka diliputi kehangatan yang sama. Sesekali, Dunia melirik ke arahmu, dan matamu tak bisa menahan diri untuk tidak menatap balik. Mata kalian bertemu, dan ada sesuatu yang tak terucapkan yang melintasi jarak di antara kalian. Pada satu titik, tarian kalian hampir berdekatan. Kamu bisa merasakan aroma sandalwood dari parfum Dunia yang samar-samar, begitu akrab dan menenangkan. Punggung kalian nyaris bersentuhan, ketika tiba-tiba Ben menarikmu ke arahnya, menghalangi tubuh Dunia yang hampir menyentuhmu.

“Pelan saja,” bisiknya di telingamu, dan kamu tersenyum, membiarkan perasaanmu melayang dalam harmoni tarian kalian. Meski Ben begitu lembut, kamu tak bisa memungkiri bahwa sesekali kamu tetap mencuri pandang ke arah Dunia. Bagaimana bibirnya membentuk senyum tipis saat Deby mengajaknya berputar, atau bagaimana jari-jarinya yang panjang tampak begitu luwes saat menggenggam tangan Deby.

Malam semakin larut, dan para tamu mulai berpencar. Sebagian berkerumun di tepi halaman, berbincang, sementara beberapa yang lain masih berada di meja-meja panjang. Musik beralih menjadi iringan piano yang lebih halus, hampir seperti bisikan. Kamu berdiri sendiri di pinggir ruangan, memandangi gemerlap lampu-lampu taman yang memantul di jendela kaca besar. Saat itulah kamu merasakan kehadiran seseorang di sebelahmu.

“Gimana kaki lo? Masih sakit?” Suara Dunia terdengar pelan namun jelas, mengagetkanmu.

Kamu menoleh, menatapnya. Wajahnya tampak berseri-seri di bawah sinar lampu gantung. “Udah lebih baik,” jawabmu canggung, berusaha memaksa senyum.

Dunia mengangguk, matanya menelusuri wajahmu seakan mencari sesuatu. “Gue seneng dengernya,” katanya pelan.

Sejenak hening. Kamu bisa merasakan udara di antara kalian penuh dengan ketegangan yang tak kasatmata. Seharusnya kamu mengucapkan terima kasih lagi, atau mungkin menanyakan hal lain, tapi mulutmu hanya bisa terkunci.

“Acaranya … cantik,” lanjutnya, mencoba memecah keheningan.

“Iya, elo bener, Dun. Dekorasinya bagus,” jawabmu singkat, menundukkan pandanganmu seolah-olah ada sesuatu yang menarik di ujung gaunmu. “Elo dan Deby juga terlihat serasi.”

Dunia tersenyum tipis. "Elo dan Ben juga.” Lalu keheningan kembali menyusup di antara kalian. Kamu tidak tahu harus berkata apa lagi, dan sepertinya begitu pula dengan Dunia. Percakapan kalian menggantung tanpa arah, seperti balon yang terombang-ambing di udara tanpa tali.

Dunia akhirnya mengangguk kecil, seolah-olah menerima kenyataan bahwa percakapan kalian tidak akan berlanjut ke mana pun. “Kalo gitu, gue ke sana dulu, ya.” Dia berbalik, bersiap pergi.

Lihat selengkapnya