Tiga hari setelah acara pertunanganmu, hidupmu perlahan kembali ke rutinitas harian di kampus. Meskipun ada perasaan yang masih menggantung, kamu berusaha keras menjalani hari seperti biasa.
Di kantin, kamu duduk bersama Haka di meja sudut yang biasa kalian tempati. Udara kantin siang itu terasa gerah, penuh dengan obrolan para mahasiswa yang tengah menikmati makan siang. Aroma berbagai makanan bercampur, tetapi tak satu pun menggugah selera makanmu yang entah kenapa terasa hambar.
Haka, seperti biasa, terlihat ceria dan santai. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya yang lain. Seakan ada kabar besar yang ingin dia bagikan, tetapi menahannya sampai saat yang tepat. Dia menyesap es tehnya pelan-pelan, lalu menatapmu lebih serius.
“Gimana kabar Ben?” tanyanya tiba-tiba, seolah-olah pertanyaan itu sudah lama mengendap di pikirannya.
Kamu terdiam sejenak, menatap sisa jus alpukat di gelasmu yang hampir tandas. “Baik-baik aja, kok,” jawabmu singkat. Tapi ada sesuatu yang tidak sejalan dengan kata-katamu. Bahkan dalam jawaban yang seolah biasa itu, terselip rasa ragu yang tak bisa disembunyikan. Benar, kalian baik-baik saja... setidaknya, secara kasatmata. Namun, percakapan terakhir yang kalian lakukan membuat segalanya terasa berbeda. Jarak yang sebelumnya tak terlihat kini menjadi nyata, memisahkanmu dan Ben dalam kebisuan yang sulit dijembatani.
Haka memperhatikanmu sejenak, menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Lalu, seolah tak ingin membiarkan suasana menjadi semakin tegang, dia mengalihkan topik.
“Eh, Dunia ke mana? Kok nggak keliatan?” tanyamu santai.
“Oh, Dunia lagi di kantor administrasi bareng Deby, ngurusin pindahan kampus Deby ke sini,” jawab Haka sambil mengangkat bahu.
Mendengar nama Deby, kamu nyaris tersedak. “Pindah kampus? Gara-gara Dunia?"
Haka mengangguk pelan, ekspresinya berubah menjadi serius. “Iya, Deby beneran cinta mati sama Dunia. Sampai rela pindah ke sini. Hebat juga, ya?”
Kamu terdiam, menghela napas pelan sambil menatap kosong ke arah keramaian kantin. Benakmu berputar, memikirkan betapa besar pengorbanan Deby untuk mempertahankan hubungan mereka. Pindah kampus berarti meninggalkan teman-teman, dosen, dan segala kenyamanan yang sudah dikenal. Langkah itu menunjukkan seberapa kuat niat Deby untuk tetap berada di samping Dunia. Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan besar yang terselip: apakah Dunia benar-benar merasa bahagia dengan semua pengorbanan itu?
Tak lama kemudian, Dunia dan Deby datang bergabung. Dunia, dengan postur tubuhnya yang tegap dan senyuman hangat, melangkah mendekat, sementara Deby, seperti biasa, menyapamu dengan ceria. Namun, kamu tak bisa mengabaikan adanya ketegangan tipis di balik senyum mereka. Dunia tersenyum, tapi senyumnya tak sampai ke mata. Sementara itu, Deby seolah berusaha menampilkan dirinya sebagai pasangan yang sempurna di hadapan semua orang.