Malam harinya, di kamar kos yang terasa lebih sempit dari biasanya, kamu berbaring gelisah di atas tempat tidur. Pikiranmu tak henti-hentinya berputar, memutar ulang kejadian di kantin tadi siang. Pengakuan Dunia masih bergema di kepalamu, seolah-olah setiap kata yang dia ucapkan menempel erat di rongga pikiranmu. Kamu menatap langit-langit, mencoba mencari ketenangan, tapi yang kamu rasakan hanya kebingungan dan rasa bersalah yang semakin menekan dada. Pengakuan Dunia bahwa dia menyukaimu, di depan begitu banyak orang, terasa seperti pukulan telak yang tak pernah kamu duga.
“Kok bisa?” gumammu lirih pada diri sendiri, suara hatimu nyaris tak terdengar di tengah keheningan kamar. Dunia, yang selama ini kamu anggap sebagai teman baik, ternyata menyimpan perasaan yang jauh lebih dalam dari itu. Dilemamu bertambah berat, bukan hanya soal Ben, tapi juga perasaanmu sendiri. Apakah ada sedikit ruang di hatimu yang mengharapkan hal seperti ini? Pikiran itu membuatmu tersentak. Tidak mungkin. Ini tidak benar.
Kamu menutup wajah dengan kedua tangan, merasa ingin menangis tapi tak bisa. Rasanya ada kekosongan yang menganga di dadamu, membuatmu tak tahu harus berbuat apa. Dunia seharusnya hanya teman, tidak lebih. Tapi tatapan matanya, ketika dia mengaku menyukaimu, terpahat begitu jelas di ingatanmu. Tatapan itu penuh dengan rasa sakit dan kejujuran yang selama ini dia sembunyikan. Dan kamu, dengan semua kebingungan ini, merasa tak punya tempat untuk berlari.
Tiba-tiba, dering ponselmu berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ben: “Hey, aku di depan kosan kamu. Bisa keluar sebentar?”
Kamu tersentak, jantungmu berdetak lebih cepat. Kenapa Ben bisa muncul di saat seperti ini? Dengan tangan sedikit gemetar, kamu membalas singkat: “Iya, sebentar.”
Lalu, dengan langkah yang terasa berat, kamu bangkit dari tempat tidur, menyambar jaket tipis yang tergantung di pintu, dan keluar dari kamar.
Begitu membuka pintu gerbang kos, kamu melihat Ben berdiri di sana, bersandar di kap mobilnya. Cahaya remang-remang lampu jalan membuat wajahnya terlihat sedikit lebih suram dari biasanya. Ada sebuah paper bag di tangannya, dan saat dia melihatmu, senyum hangatnya langsung merekah. Namun, meskipun senyumnya selalu memberimu rasa nyaman, kali ini yang kamu rasakan justru sebaliknya. Perasaan bersalah kembali menyergapmu dengan kuat.
“Hei.” Ben melangkah mendekat, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung meraihmu ke dalam pelukannya. Aroma familiar dari tubuhnya menyelimuti dirimu, tapi bukannya merasa tenang, kamu justru merasakan tekanan di dadamu semakin kuat.
“Aku kangen kamu, Sayang,” ucap Ben lembut di telingamu, suaranya sedikit serak, seolah-olah dia sudah lama merindukanmu.
Kamu mencoba tersenyum, tapi bibirmu terasa kaku.
Ben mundur sedikit, menatap wajahmu dengan sorot khawatir. “Aku bawain cokelat dari Singapura. Mami baru pulang dari sana, dan dia nitip ini buat kamu.” Dia menyerahkan paper bag itu padamu. Isinya penuh dengan cokelat mahal yang kamu tahu merupakan kesukaanmu. "Mami juga nanya, kapan kamu bisa main lagi ke rumah.”
Kamu mengambil paper bag itu dan berusaha terlihat antusias, tapi Ben bukan orang bodoh. Dia menangkap kegelisahan di matamu, lalu menghela napas pelan. “Kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lembut, tapi penuh keprihatinan. “Kok, kayaknya muka kamu gak semangat gitu?”
Sejenak, kamu hanya bisa memandanginya. Ingin sekali rasanya kamu menceritakan semuanya, tentang pengakuan Dunia, tentang betapa kacaunya perasaanmu saat ini, tapi kamu tak bisa. Kamu tak ingin menghancurkan senyuman hangat di wajah Ben. Maka, dengan susah payah, kamu memaksa senyum kecil. “Aku nggak apa-apa, Ben. Cuma sedikit capek aja. Tadi ada banyak tugas di kampus.”
Ben menatapmu lama, seolah sedang berusaha membaca seluruh isi hatimu hanya dari sorot matamu. Lalu, setelah hening beberapa saat, dia mengangguk pelan. “Yuk, jalan-jalan sebentar di taman. Kayaknya kamu butuh udara segar, deh.”
Kemudian.