Malam itu, suasana di kosan terasa hening, hanya ada angin yang menghembus pelan di teras kecil. Kamu duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk, menatap kosong ke depan, sementara pikiranmu terus berputar. Langit malam tampak tak bersahabat, sama seperti hatimu yang bergolak.
Tak lama kemudian, Haka datang. Seperti biasa, dia membawa kesan tenang, namun malam ini ada kekhawatiran di wajahnya. Dia duduk di sebelahmu tanpa berkata apa-apa, hanya menatap ke arah yang sama seperti dirimu, seolah menghormati kesunyian yang tengah kalian bagi.
Setelah beberapa menit yang sunyi, kamu menghela napas panjang dan memecah keheningan, “Ka, gue gak tau bisa atau nggak. Gue udah coba ngelupain Dunia, tapi rasanya susah banget. Gue bener-bener gak ngerti harus gimana lagi.”
Haka menoleh, tatapannya serius. "Kalo lo udah niat buat mengakhiri semuanya, La, lo harus terus jalan. Gue ngerti, ini gak mudah. Gue tau banget gimana rasanya terjebak di antara perasaan dan kenyataan yang nggak lo inginkan. Tapi lo harus ingat, lo udah bikin keputusan, dan lo harus bisa berdiri di atas itu."
Kamu menggigit bibirmu, menunduk. “Gue tahu, Ka. Tapi gue nggak bisa bohong kalau perasaan ini berat banget. Saat gue bilang ke Dunia kalau gue nggak punya rasa sama dia, perasaan gue malah ngerasa sakit.”
Haka menghela napas pelan, lalu menepuk bahumu pelan, mencoba memberi kekuatan. "Itu artinya lo manusia, La. Kalau lo gak ngerasa sakit, mungkin lo udah gak peduli lagi. Tapi perasaan lo ke Dunia itu cuma satu bagian dari hidup lo. Lo punya tanggung jawab, punya masa depan. Dan kalau lo bener-bener udah bertekad, lo bisa kok lupain dia. Pasti bisa.”
Kamu tersenyum kecil, meski hatimu masih terasa berat. “Tapi apa gue bakal baik-baik aja setelah ini, Ka? Gue nggak tahu apa gue beneran bisa lanjut setelah ngelewatin semua ini.”
Haka menatapmu dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. "Gue gak bisa kasih jawaban pasti. Tapi yang gue tau, lo pasti kuat, La. Lo pasti pernah ngelewatin banyak hal lebih berat dari ini, kan? Gue yakin, lo bisa jalanin hidup lo lagi, meskipun ini terasa berat sekarang."
Kamu menggedikkan bahu, merasa tak pasti. "Gue nggak tau, Ka. Gue nggak tau apa yang bakal terjadi setelah ini," ulangmu lagi. Seolah kamu sedang mempertanyakan kesanggupanmu sekian kalinya.
Kalian terdiam lagi untuk beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Haka duduk lebih nyaman di kursi, seolah menunggumu berbicara lagi. Namun sebelum kamu sempat membuka mulut, ponselmu berdering. Nama Ben muncul di layar. Kamu menatapnya sejenak, ragu, tapi akhirnya menjawab panggilan itu.
“Halo, Ben?” Suaramu terdengar sedikit gemetar.
“Hei, Sayang. Aku cuma mau ngomong sesuatu yang penting.” Suara Ben terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik nada suaranya yang membuatmu tegang.