Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #24

Sebuah Permintaan

Setelah kata-kata itu terucap dari bibirmu, "Bulan depan, gue nikah sama Ben." Segalanya terasa berubah. Hening menyelimuti udara di sekitarmu. Hening yang begitu pekat hingga suara dedaunan yang tertiup angin malam seolah menjadi suara yang paling lantang di telinga. Kamu menatap tanah, menghindari tatapan Dunia yang terasa begitu berat. Di kepalamu, kata-kata yang barusan kau ucapkan bergema, menggetarkan hatimu, meski kamu sendiri masih belum benar-benar bisa menerima realitas yang kini tergambar jelas.

Dunia berdiri membelakangimu, tubuhnya kaku seperti batu, seolah-olah pernyataanmu telah membuatnya beku di tempatnya berdiri. Kamu bisa melihat garis punggungnya yang tegang, napasnya yang berusaha tenang tapi tak bisa menipu udara di sekitarnya yang mendadak menjadi lebih dingin. Kamu tahu, setiap kata yang baru saja kamu ucapkan telah menghancurkan harapannya, harapan yang mungkin sudah dia bangun dalam diam, sejak perasaannya padamu tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang tak lagi bisa dia sembunyikan.

Waktu seperti berjalan lambat, menit demi menit terasa abadi. Kamu duduk di bangku taman, lututmu lemah, sementara perasaan bersalah mulai merayap naik, menggerogoti hatimu sedikit demi sedikit. Kamu merasa sesak. Seandainya waktu bisa berhenti, kamu ingin menghindari semuanya. Dunia—dengan segala kejujuran dan ketulusannya—tidak pantas untuk terluka seperti ini. Tapi, kamu pun tahu, tidak ada jalan lain. Pernikahanmu dengan Ben sudah terlanjur direncanakan. Segalanya sudah dipersiapkan, dan kamu tidak bisa berbalik arah.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Dunia akhirnya bergerak. Dengan perlahan, dia berbalik, menghampirimu dengan langkah yang terdengar begitu berat, seolah-olah setiap langkahnya adalah perjuangan melawan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Kamu mendongak dan melihat wajahnya yang tak lagi bisa menyembunyikan kesedihan. Mata Dunia, yang selalu tampak hangat dan penuh gairah hidup, kini tampak redup, diliputi oleh duka yang tak terkatakan.

Dia berdiri di hadapanmu, menatapmu dalam-dalam, namun kali ini tatapan itu berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa kamu ungkapkan dalam sorot matanya, seolah-olah dia berusaha keras untuk tetap tegar meski di dalam dirinya, segalanya runtuh perlahan.

"Oke ...." Suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan yang dipaksa keluar dari tenggorokan yang tersumbat oleh emosi, "Lo nikah sama Ben bulan depan."

Kamu menahan napas, seolah setiap kata yang diucapkannya menambah beban di dadamu.

"Kalo emang itu udah takdirnya... gue harap lo bahagia sama Ben ... selamanya." Suara Dunia terdengar berat, penuh dengan ketulusan yang menyakitkan. Dia sedang mencoba menerima kenyataan yang paling sulit baginya—kenyataan bahwa kamu bukanlah miliknya, bahwa meskipun perasaannya padamu begitu kuat, takdir kalian telah berjalan di arah yang berbeda.

Tapi sebelum kamu bisa merespons apa pun, sebelum kamu bisa berkata bahwa kamu pun ingin dia bahagia, dia melanjutkan dengan nada yang lebih tegas, nada yang membuat jantungmu kembali berdegup kencang.

"Tapi sekarang ...." Dunia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu yang jauh lebih berat, "Gue cuma butuh tau perasaan lo yang sekarang, La. Apa gak ada sedikitpun perasaan lo ke gue? Perasaan lebih dari sekadar temen."

Lihat selengkapnya