Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #26

Kenangan Malam

Matahari telah tenggelam sepenuhnya ketika kalian tiba di Puncak, Bogor. Jalan-jalan yang kalian lewati dipenuhi embun tipis yang mulai turun, menyelimuti udara dengan kesejukan yang menggigit kulit. Namun, di antara dinginnya pegunungan, ada kehangatan yang tak bisa kamu abaikan—kehangatan yang datang dari Dunia. Dia berjalan di sampingmu, langkahnya seirama denganmu, menuntunmu ke sebuah tempat yang tersembunyi di antara pohon-pohon pinus tinggi.

Tempat itu tampak sederhana, tapi memiliki pesona tersendiri. Di depanmu, hamparan hijau gunung-gunung terbentang luas, seolah menyambut dengan tenang. Udara segar memenuhi paru-parumu, membebaskanmu dari keruwetan yang selama ini memenuhi pikiranmu. Kamu tak bisa menahan kekaguman, pandanganmu terpaku pada keindahan yang tersaji di depan mata. Tanpa sadar, sudut bibirmu terangkat, membentuk senyum kecil yang tulus.

Namun, ketenangan itu seketika bergeser ketika kamu merasakan sentuhan hangat di tanganmu. Dunia, yang tadinya berada sedikit di belakang, kini telah berdiri di sampingmu, dan tanpa suara, jemarinya menaut erat dengan jemarimu. Sentuhan itu mendadak membuat jantungmu berdegup lebih cepat. Kau menoleh, mencari wajahnya. Dunia hanya tersenyum kecil—senyum yang lembut dan penuh arti. Kalian berdua saling menatap, tanpa berkata apa-apa, seolah keheningan itu sudah berbicara banyak.

Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang tidak pernah kamu rasakan sebelumnya, bahkan saat Ben memelukmu. Mungkin ini karena kamu tahu bahwa perasaanmu untuk Dunia adalah sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini, namun kini, dengan genggaman tangannya, semua perasaan itu meledak menjadi sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari.

Kamu mengalihkan pandanganmu, mencoba meredam gejolak di dadamu. Tapi rasanya sia-sia. Dunia tetap di sana, dengan tatapan yang seolah mampu menembus seluruh lapisan pertahananmu.

Tak lama setelah itu, Dunia mengajakmu pindah ke spot lain. Kali ini kalian duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap ke lembah. Di depan kalian, berjajar beberapa penjual jagung bakar dan teh hangat. Dunia memesan dua jagung bakar untuk kalian berdua, dan kalian duduk bersama menikmati malam yang semakin larut.

“La ... aku nggak pernah nyangka bisa ada di sini, sama kamu. Aku kira, kamu akan selalu cuma sekedar teman buat aku.” Suara Dunia lembut, namun sarat makna. Dia menatapmu dengan mata yang berkilat dalam keremangan malam.

Kamu terdiam sejenak, mencoba meresapi kata-katanya. Di hatimu, ada pergulatan hebat antara kenyataan dan perasaan. Kamu tahu kamu tak seharusnya di sini, bersamanya seperti ini. Tapi, di saat yang sama, kamu tak bisa menahan diri untuk merasa bahagia.

“Aku juga nggak pernah nyangka, Dun,” jawabmu akhirnya, suara lirihmu menggantung di udara. “Rasanya aneh. Kita kayak... bener-bener punya hubungan yang lebih dari temen, hubungan yang spesial dan serius.”

Dunia menghela napas, pandangannya berpindah ke jagung bakar di tangannya. Dia mengangkat bahu pelan, sebelum akhirnya berkata, “La... seandainya aku ketemu kamu lebih dulu daripada Ben, mungkin kita ....”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, membiarkan kata-kata itu menggantung. Namun kamu tahu apa yang ingin dia katakan. Kamu tahu persis. Rasa bersalah itu muncul, mendesak di dadamu, hingga tanpa sadar kamu meraih tangannya, menggenggamnya erat.

“Dun, maafin aku, ya,” ucapmu pelan, tapi penuh ketulusan. “Aku... aku nggak tegas sama perasaanku sendiri. Mungkin kalau aku bisa tegas, aku nggak akan kejebak kayak gini. Aku punya hubungan sama Ben, tapi aku juga punya perasaan yang dalam buat kamu. Aku sadar aku egois, Dun. Tapi... aku juga nggak bisa ngelawan perasaan ini.”

Lihat selengkapnya