Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #28

Kesadaran

Di dalam kamarmu yang hening, hanya suara detak jam yang mengiringi kegelisahan yang kian pekat. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, seakan waktu berhenti di tengah derasnya pikiran yang berputar-putar dalam kepalamu. Ponselmu terus tergeletak di dekatmu, dan layar ponsel sesekali menyala menandakan tak ada balasan dari Dunia. Panggilan-panggilan yang kamu lakukan, tetap tanpa jawaban. Pesan-pesan yang kamu kirim, tetap tak terbaca.

Kamu berbaring di atas kasur, tapi matamu menatap kosong pada langit-langit kamar. Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab berkecamuk tanpa henti. Dunia pergi begitu saja beberapa jam yang lalu, tanpa memberi alasan apa pun, dan sekarang kamu terjebak dalam rasa bingung yang semakin menghimpit. Mengapa Dunia menghilang? Apakah dia marah karena melihatmu bersama Ben tadi? Tapi, rasanya aneh. Sepanjang siang, Dunia tampak biasa saja, bahkan bahagia saat mengantarmu ke butik.

Waktu terus berjalan. Tengah malam lewat, tapi tak satu pun jawaban terlintas dalam benakmu. Perasaan bersalah dan cemas semakin kuat mencekik. Kamu mencoba membujuk dirimu sendiri bahwa mungkin Dunia hanya butuh waktu, tapi hati kecilmu berkata sebaliknya. Semalaman itu kamu terus terjaga, pikiranmu tak pernah lepas dari Dunia. Segala kemungkinan berputar di benakmu—mulai dari hal kecil hingga yang paling menakutkan. Di antara semua itu, ada perasaan takut yang semakin hari semakin tumbuh, bahwa mungkin saja kamu akan kehilangan Dunia.

Pagi pun datang, dan matahari mulai menyusup di balik tirai kamarmu, mengusir gelap yang semalam menemani. Namun, meskipun hari telah berganti, perasaan berat di dadamu masih menggantung. Kamu bergegas bersiap ke kampus, meski hatimu tak sepenuhnya ada di sana. Setiap langkahmu terasa hampa, dan satu-satunya hal yang memenuhi pikiranmu adalah mencari Dunia.

Setibanya di kampus, kamu menelusuri setiap tempat yang biasa dikunjungi Dunia. Lorong-lorong yang biasanya terasa penuh keakraban, kini terasa dingin dan sunyi tanpa kehadiran laki-laki itu. Kamu mencarinya di kantin, di taman, bahkan di perpustakaan, tapi Dunia tak ada di mana pun. Perasaan cemas semakin kuat merasuk. Kamu mencoba menghubunginya lagi, namun tetap saja tak ada jawaban. Ponselmu hanya memunculkan nada sambung yang dingin, seolah-olah mencerminkan jarak yang tak terjembatani antara kamu dan Dunia saat ini.

Ketika pencarianmu tak membuahkan hasil, kamu mulai bertanya pada Haka dan beberapa teman lainnya. Mereka pun tampak bingung dengan hilangnya Dunia. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi atau kenapa dia tak bisa dihubungi. Perasaan panik perlahan menyusup dalam dirimu, menggantikan kekhawatiran yang sebelumnya. Kamu mulai bertanya-tanya, apakah Dunia sedang menghindarimu? Apakah ini caranya menyampaikan sesuatu tanpa harus berkata-kata?

Sepulang dari kampus, kamu merasa tak bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Perasaanmu yang campur aduk, antara khawatir, bingung, dan takut, membuatmu tak bisa tenang. Akhirnya, kamu memutuskan untuk meminta bantuan Haka. Bersama Haka, kamu bergegas menuju rumah Dunia. Selama perjalanan, kamu tak banyak bicara, hanya terdiam, mencoba menenangkan hatimu yang berdebar semakin kencang.

Sampai di depan rumah Dunia, langkahmu terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dirimu, entah itu rasa takut akan apa yang akan terjadi, atau rasa bersalah karena merasa menjadi penyebab menghilangnya Dunia.

Haka menatapmu dengan ragu. “Elo yakin mau ketemu Dunia sekarang? Gue bisa tungguin lo sampe selesai kalo lo mau,” tawarnya.

Kamu tersenyum tipis dan menggeleng. “Enggak, Hak. Gue harus bicara empat mata sama dia. Makasih ya, udah nganterin gue. Nanti gue bisa pulang sendiri naik ojol,” jawabmu, mencoba terdengar yakin meski hatimu tak sepenuhnya begitu.

Haka tampak masih ragu, tapi akhirnya dia mengangguk pelan. “Oke, kalo gitu. Hati-hati ya, La. Kalo ada apa-apa, kabarin gue,” ucapnya penuh perhatian.

Setelah Haka pergi, kamu berdiri sejenak di depan rumah Dunia. Sepi. Pintu rumah itu tertutup rapat, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Hatimu berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, kamu mengetuk pintu. Dentingan suara ketukanmu menggema di udara, terasa begitu lambat, seakan waktu ikut menahan napas menanti jawaban.

Namun, tak ada suara balasan dari dalam. Kamu mencoba lagi, kali ini lebih keras, berharap Dunia akan muncul, atau setidaknya ada tanda-tanda bahwa dia ada di dalam. Tapi tetap sunyi. Hati kecilmu mulai bertanya-tanya, apakah Dunia sengaja menghindarimu? Mungkin dia terlalu kecewa, atau bahkan terluka oleh apa yang dia lihat kemarin.

Lihat selengkapnya