Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #29

Malam Terakhir

Setelah perpisahan yang terasa pahit kemarin, hatimu belum tenang. Dunia telah mengatakan semua yang perlu dikatakan, namun ada sesuatu yang belum selesai di antara kalian. Ada keperihan yang tersisa, seperti serpihan kaca di bawah kulit—tak terlihat, namun terus menggores. Kamu tahu, ini bukan hanya tentang perasaanmu, tetapi juga tentang masa depan kalian. Kamu merasa perlu berbicara lagi, menutup pintu yang belum sepenuhnya tertutup.

Pagi ini, kamu memutuskan untuk menghubungi Dunia lagi. Tanganmu dingin saat kamu menyentuh ponsel, seolah enggan, namun tekadmu sudah bulat. Pesan singkatmu masuk, tak bertele-tele, hanya meminta bertemu sekali lagi. Di balik layar, kamu bisa merasakan keengganannya, tapi setelah beberapa menit, Dunia akhirnya menyetujui pertemuan itu.

Di bawah langit yang mulai memerah, kamu melangkah pelan menuju taman kecil tempat biasa kalian bertemu. Taman itu adalah saksi banyak hal—tawa, canda, dan percakapan ringan yang kadang berakhir dengan keheningan nyaman. Namun, hari ini, udara di sekitarmu terasa berat, dipenuhi oleh sesuatu yang tak bisa diucapkan. Langkahmu ragu, seperti hatimu yang penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian. Kamu tahu, pertemuan ini akan menjadi yang terakhir, tetapi kamu berharap masih ada ruang untuk harapan kecil yang tersisa.

Di kejauhan, kamu melihat Dunia sudah duduk di bangku kayu yang biasa. Sosoknya tampak lebih rapuh daripada yang pernah kamu lihat. Mata itu, yang biasanya memancarkan kehangatan, kini tampak kosong, seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Kamu merasa sesuatu di dalam dirimu ikut runtuh melihatnya seperti ini.

Kamu berhenti beberapa langkah di depannya, merasa ada dinding tak kasatmata yang memisahkan kalian berdua. “Hei, Dun.” Suaramu bergetar, mencoba mengatasi perasaan yang mengganjal di tenggorokanmu.

Dunia mengangkat kepalanya perlahan, menatapmu dengan pandangan yang sulit ditebak. “Hei, La,” jawabnya datar, tanpa senyum, tanpa kehangatan yang biasa ia berikan.

Hatimu mencelos mendengar nada bicaranya yang dingin. Kalian pernah begitu dekat, tapi sekarang rasanya seperti dua orang asing yang bertemu di tempat yang salah. Kamu duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang seolah menjadi simbol dari jarak yang kini memisahkan hati kalian.

“Kita perlu ngobrol, Dun.” Suaramu lembut, hampir seperti bisikan, seolah takut akan memecahkan keheningan yang terasa berat di antara kalian. “Tentang kita.”

Dunia tertawa kecil, getir, seolah menertawakan sebuah lelucon yang tak ingin dia dengar. “Tentang kita?” ulangnya. “Aku pikir udah gak ada lagi yang perlu diomongin, La. Ucapan terakhirku kemarin udah cukup buat jelasin semuanya.”

Lihat selengkapnya