Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #30

Selamat Tinggal

Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupmu tiba dengan segala kemewahan yang sempurna. Langit cerah seakan ikut merestui, sementara bunga-bunga putih dan merah muda menghiasi setiap sudut aula pernikahan. Ruangan megah itu penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan senyum-senyum tulus dari keluarga dan sahabat yang datang untuk merayakan pernikahanmu dengan Ben. Namun, di tengah semua kemeriahan itu, ada kekosongan yang merayap perlahan ke dalam hatimu, menciptakan rasa hampa yang sulit dijelaskan.

Gaun pengantinmu mengalir lembut, putih sempurna, seperti perwujudan mimpi-mimpi yang dulu pernah kamu impikan. Rambutmu ditata rapi, dan make-up menutupi segala jejak kelelahan di wajahmu. Dari luar, semua orang melihat sosokmu sebagai mempelai yang anggun dan bahagia. Ben, suamimu yang baru saja kamu nikahi, berdiri di sisimu, tersenyum dengan mata berbinar penuh harapan. Baginya, hari ini adalah permulaan yang sempurna. Namun di balik senyum itu, hatimu terus bergejolak.

Sejak pertemuan terakhir dengan Dunia, sesuatu dalam dirimu berubah. Kalian tidak pernah berbicara lagi, tidak ada pesan atau telepon, tidak ada pertemuan tiba-tiba di kampus. Dunia, dengan segala kenangannya, hilang seolah-olah dia tak pernah ada, seolah-olah hubungan yang pernah ada di antara kalian hanya ilusi sesaat. Tapi di dalam hatimu, dia tidak pernah benar-benar pergi. Bayangan percakapan terakhir kalian masih terukir jelas—kata-kata yang terlontar dengan pedih, tatapan yang penuh luka.

Kamu tidak tahu pasti bagaimana perasaanmu saat ini. Apakah ini cinta? Atau hanya kebingungan yang tak terjawab? Mungkin cinta yang kamu rasakan untuk Dunia adalah cinta yang berbeda dari yang kamu rasakan untuk Ben. Ben adalah segalanya yang pasti, yang nyata, yang stabil. Dia adalah orang yang selalu ada untukmu, seseorang yang bisa kamu andalkan tanpa ragu. Namun, Dunia adalah sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tak bisa kamu definisikan dengan mudah. Perasaanmu untuknya adalah perasaan yang selalu melayang di tepi kesadaran, seperti ombak yang menghantam karang, tapi tak pernah cukup kuat untuk menghancurkannya.

Di tengah keramaian pesta, di antara tawa dan obrolan yang bergema, kamu mencuri pandang ke arah kerumunan. Matamu mencari, meski kamu tahu seharusnya tidak. Tapi seolah ada magnet tak terlihat yang menarikmu, dan kemudian kamu melihatnya—Dunia. Dia berdiri di kejauhan, di sudut aula, jauh dari pusat perhatian. Pandangan kalian bertemu, dan seketika, jantungmu berdegup kencang. Dunia menatapmu dengan senyum yang sulit diartikan—senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu, tapi juga tidak penuh kebencian. Hanya ada kesedihan, mungkin juga penerimaan.

Senyumnya adalah senyum yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Dunia tidak pernah ingin berada di sini, tapi dia datang. Entah karena apa, entah untuk siapa. Kamu tidak bisa berhenti menatapnya, dan selama beberapa detik, dunia di sekitar kalian seakan berhenti. Di tengah keramaian itu, hanya ada kamu dan dia. Hanya ada kenangan yang pernah kalian bagi, kenangan yang sekarang terperangkap di antara kalian berdua—seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Ben menggenggam tanganmu erat, membawamu kembali ke realitas pesta yang sedang berlangsung. Dia tidak menyadari pertemuan singkat itu, dan kamu mencoba tersenyum padanya. Ben, dengan segala ketulusannya, percaya bahwa pernikahan ini adalah akhir bahagia yang selama ini dia impikan. Dan mungkin memang begitu. Dengan Ben, kamu tahu kamu akan selalu merasa aman, terlindungi. Dia adalah rumah yang stabil, yang tidak pernah akan membuatmu tersesat.

Lihat selengkapnya