Plok..!
Rey dan Kanya saling pandang.
“Rey…” Suara Kanya menciut.
“Kanya… Sembunyi ke belakang!” Rey sebetulnya juga cemas tapi ia sembunyikan rapat-rapat, ia harus waspada pada segala kemungkinan yang akan mengancam.
Fokus Rey saat ini membawa mobil menuju keramaian tanpa perlu keluar menyingkirkan pecahan telur di kaca mobil depan. Sedangkan Kanya, otot-ototnya menegang diperparah napasnya yang memburu cepat. Ia menatap kedua tangannya yang mengeluarkan keringat panas-dingin, tak sengaja ia melihat rambut-rambut halus di lengannya berdiri kaku.
“Kanya! Dengarkan aku! Sembunyi di belakang pelan-pelan! Bawa ponselmu, cari barang yang bisa dijadikan senjata, cepat!” Rey berseru pelan. Ia geram melihat Kanya yang tak mengindahkan perintahnya.
Rey lantas menyambar pajangan mawar di dashboard. Menempatkan itu dipangkuannya. Ia tak punya senjata untuk melawan, pajangan itu satu-satunya benda yang bisa dijadikan senjata.
Deg.. deg..
Entahlah itu bunyi detak jantung siapa, mungkin jantung mereka berdua sedang saling berlomba memompa darah dengan ambisius, hingga suaranya terdengar samar-samar dan darah yang mengalir di tubuh keduanya mampu mendidihkan pipi.
Jedug!
Nasib baik tidak berpihak pada mereka, ban mobil sebelah kiri masuk ke lubang jalan yang cukup besar, Rey menyesal telah menjadikan jalanan rusak ini menjadi bahan lelucon tadi siang. Sekarang mungkin jalanan itu minta bayaran karena telah menertawakannya.
Kanya diam seribu bahasa. Tubuhnya yang kecil memudahkan gadis itu bergerak menyelinap ke bagasi dengan minim suara. Ia membawa ransel dan bantal leher kelinci miliknya ke tempat persembunyian alias bagasi.