Mobil SUV hitam dengan desain front-grille bertema dashing dark, melintas dengan gagah di lengangnya jalanan Kota Padang. Tepat di depan bangunan putih dua tingkat ia berhenti.
Rey, pengendara mobil itu melepas kacamata photocromic yang menutupi mata sipitnya. Kemudian menyangkutkan benda itu pada tengah kemeja sutra berwarna wine red yang menempel di kulit putihnya.
“Halo, Kanya?” Rey menyapa sebuah nama melalui ponselnya, “Aku sudah sampai di alamat yang kau kirimkan kemarin.” Lanjut Rey memberi tahu posisinya pada gadis bernama Kanya. Mata tajamnya mencari pergerakan manusia di sekitar bangunan putih yang merupakan kost putri di kawasan perkotaan.
“Oke, tolong bersabar sedikit yaa.. aku sedikit payah berjalan dalam kondisi seperti ini.” Suara dari dalam ponsel
Ini kode morse yang sangat gampang di terjemahkan oleh lelaki gentleman. Kurang lebih itulah motivasi Rey bergegas turun dari mobilnya dan melangkah mendekati gerbang kost. Ia yakin tidak salah alamat, sesuai dengan titik lokasi penjemputan yang dibagikan Kanya semalam. Sekitar tiga menit berlalu, Rey berhasil menemukan gadis berwajah pucat tak jauh dari tempatnya berdiri. Kanya, berjalan terseok-seok menggendong tas dan menyeret koper menuju gerbang.
Jika saja tidak ada papan bertuliskan : Tamu laki-laki dilarang memasuki area kost, mungkin ia sudah meneruskan langkahnya melewati gerbang ‘batas suci’ itu.
“Kenapa ke sini? Kan sudah ku bilang tolong bersab—” Belum usai Kanya mengomel, sudah dipotong.
“Mana ada orang waras yang tega membiarkan pasien rumah sakit kabur ini berjalan tanpa di papah, boleh aku bantu?”
Kanya memejamkan matanya yang sebetulnya memang lelah, sembari menghirup oksigen sebanyak mungkin, ia takut kehabisan napas begitu cepat dalam pertandingan ‘menenangkan perasaan’ ini. Kanya mengempas napas sepelan mungkin, memang ia sudah tak punya tenaga lagi sebenarnya. Lantas menjawab begini, “Rey kita sudah bukan anak kecil sembilan tahun itu lagi, kita sudah berkepala dua, dalam keyakinanku aku tidak boleh disentuh oleh sembarang orang.”
“Aku ‘sembarang orang’ maksudnya?” Rey bertanya, tangan kanannya menahan koper yang diseret oleh Kanya. Rey lalu lanjut bicara, “Aku paham dengan aturan kamu yakini itu.. kemarikan kopermu ini! Jangan berpura-pura kuat, kau sudah seperti zombie di serial drama korea."
Rey mengambil alih koper dari tangan Kanya, kemudian berjalan pelan berharap langkahnya bisa seirama dengan langkah Kanya, ia menghidupkan mode siaga apabila gadis berpakaian piama katun longgar itu sempoyongan tanpa aba-aba.
Kanya menurut, ia berjalan gontai menuju mobil hitam yang akan membawanya pulang ke rumah. Jika saja bukan karena paksaan ayahnya, mungkin ide pulang diantar Rey ini tak akan pernah terlintas di kepalanya. Rey, satu-satunya lelaki kepercayaan ayah karena ia dibesarkan bersamaan dengan Kanya sewaktu kecil. Aneh, percaya pada orang yang beda keyakinan, gerutu Kanya sembarang menyimpulkan.
Ceklek!
Rey dengan sigap membuka pintu penumpang di sebelah kiri dan memosisikan tangannya untuk melindungi kepala Kanya agar tidak terbentur saat memasuki mobil.