Di kediaman Syam, Ayah Kanya.
“Ck… Kanya tuh selalu Yah, bilangnya tidak apa-apa, sehat, semuanya aman, terus liat sekarang? Tiba-tiba kita di telepon rumah sakit. Sudah sakit, tidak mau jujur apa sakitnya?!” Sapira, Ibu cerewetnya Kanya terus mengomel.
Syam juga khawatir, sangat khawatir sebenarnya. Tetapi untuk sekarang ia lebih khawatir istrinya ini terus menyalahkan Kanya, tidak sadar bahwa apa yang dilakukan anak kesayangan mereka itu persis mencontoh sifat ibunya sewaktu muda. Namun, Syam paham, tidak mungkin ia berterus terang dengan sifat kelewat independen istrinya itu sekarang. Syam memilih diam dan mendekap tubuh istrinya. Mencoba menghangatkan suasana dengan memeluk gelisah yang menggentayangi rumahnya.
“Kita doakan saja keselamatan untuk putri keras kepala kita itu, sayang. Semoga dia mau kita bawa periksa dan jelas sakitnya apa?” Syam berusaha menenangkan gundah hati belahan jiwanya.
“Sudah, pokoknya setelah ini dia tidak usah dapat izin merantau lagi Yah, kita masih sanggup membiayai hidupnya, tidak perlu terlalu berambisi mengikuti pola kerja kapitalis yang sangat tidak menyejahterakan tubuh pekerjanya itu, untuk apa kerja siang malam tiada henti, kalau gajinya berujung untuk membeli obat dan membiayai rumah sakit?” Sapira belum selesai ternyata mengomel, pantas saja Kanya menamai kontaknya ‘Ibu Cerewet’
“Hahaha.. Bu... seandainya Ayah bisa melontarkan ini pada Ibu dua puluh tahunan lalu. Inilah yang ingin Ayah sampaikan, tapi Ayah pikir Ibu punya motivasi yang tak bisa Ayah bantah waktu itu. Perempuan harus bisa mandiri finansial, Ayah setuju itu. Dan motivasi Ibu itu mengalir deras di darah putri kita.” Syam sudah tidak kuat menahan isi hatinya.
Skakmat.
Tidak sia-sia Syam menyusun pola kata-kata yang ia harap tidak akan menyakiti hati istrinya. Syam begitu memperhitungkan kata-kata yang keluar dari mulutnya, sebisa mungkin tak usah banyak bicara, sekali bicara berhasil menguasai keadaan.
Inilah alasan mengapa Sapira akhirnya mengizinkan ada lelaki yang masuk ke dalam hidupnya. Dua puluh tujuh tahun ia menjalani hidup sendiri, hampa dan hanya didedikasikan untuk bekerja. Hampir saja ia tak percaya lelaki, sebab banyak sekali bayangan buruk hidup bersama lelaki yang menghantui masa mudanya. Tetapi Syam, lelaki yang tak kenal menyerah itu berhasil memangkas benalu yang hampir merusak kepercayaan Sapira terhadap lawan jenis.
Pada akhirnya, ‘mawar berduri’ akan berhasil dipetik oleh pejuang yang tak takut luka.
Singkat cerita, saat usia Sapira hampir memasuki dua puluh delapan tahun dan Syam tiga puluh tahun, ia berhasil mempersunting Sapira setelah tujuh kali penolakan. Kalau saja Syam putus asa terlalu cepat, mungkin sekarang ia tidak bisa mendekap tubuh perempuan yang menjadi obat penenangnya dalam setiap situasi sulit.
“Hiks..”
Syam sekarang mungkin sudah berusia lebih dari setengah abad, tetapi pendengarannya masih sehat untuk menangkap bunyi isakan. Ia melepas dekapannya lalu memundurkan tubuh, menjauhi istrinya agar bisa memastikan asal suara isakan itu.
Benar saja, sisi bajunya yang menjadi tempat bersarang wajah istrinya tadi sudah basah. Hidung mancung istrinya sekarang sudah merah seperti tomat matang, matanya sembap seperti habis terkena asap.
“Semua akan baik-baik saja sayang... Tenanglah Ayah sudah menitipkan putri kita pada orang yang bisa kita percaya, tenang… ada Rey yang sedang menjemput Kanya, kita doakan saja keselamatan untuk mereka di perjalanan.”