Sudah dua jam lebih Rey menyetir mobil, mereka sedang melintasi kawasan Pesisir Selatan. Rey sengaja mengambil rute Jalan Lintas Barat Sumatera, ia masih sangat ingat betapa Kanya menyukai pemandangan pantai. Rey ingin perjalanan kali ini bisa menjadi perjalanan yang akan memiliki tempat di memori Kanya. Ia memandang punggung putri tidur yang meringkuk sampingnya itu.
“Huh! Dasar tukang tidur!” Rey mengumpat.
“Siapa yang tidur? Aku hanya mengalihkan pandangan, pusing lihat jalanan, nanti kalau muntah kamu yang repot.” Kanya menjawab umpatan Rey.
Rey menoleh kaget mendengar Kanya tiba-tiba menjawab umpatannya, “Iiiih curang, kamu pikir aku supir travel? Minimal bantu carikan playlist kalau tidak bisa bantu baca maps!” Rey protes, tidak terima ditinggal tidur dua jam penuh oleh penumpang kursi kiri depan.
“Aku bisa baca maps!” Kanya membantah, kepalanya sampai menoleh ke belakang dengan perputaran hampir 180 derajat dan alis tipis yang hampir bertautan.
“Ya.. ya.. Aku percaya, tapi aku tak mau kamu bawa tersasar ke sarang begal, ke rumah sakit, terus jadi penghuni kamar mayat nantinya. Aku masih mau hidup setelah mengantarkan anak ‘Paman Tua’ ini selamat sampai rumahnya.” Rey mulai cerewet, sengaja ia mengompori Kanya.
Rey suka berdebat dengan Kanya.
“Baiklah, mau playlist apa?” Kanya memilih untuk bertanya topik pengalihan isu, ia tahu betul kalau Rey sedang memancing emosinya.
Kanya sudah duduk dengan posisi normal. Nyeri kepalanya sudah tidak terlalu terasa lagi, agaknya ia hanya butuh beristirahat dengan cukup jika nyeri kepala itu menghantuinya kembali
Rey heran dengan Kanya yang tidak mendebati ujaran panjangnya tadi, “Wah.. wah, sejauh ini sakit mengubah seorang Kanya, tapi tenang aku tidak akan mendoakan semoga kamu sakit terus Nya, semoga lekas sembuh yaa.. Supaya nanti bisa kembali berdebat denganku.” Bukannya menjawab pertanyaan Kanya, Rey lebih memilih mencairkan suasana dingin di antara mereka.
Kanya tak menjawab. Bukan karena tak mau berdebat, kali ini hidungnya terasa gatal dan sedikit ada sensasi aneh, seperti ingin mengeluarkan ingus.
Tes.
Benar saja!
Ada cairan keluar dari hidung minimalis Kanya. Terjun bebas mencemari sisi depan selimut yang membalut bagian atas tubuhnya. Takut ditertawakan oleh Rey karena ingusan, Kanya segera menyeka hidungnya. Ia belum melihat bercak merah yang menetes di piamanya tadi.
“Hah? Merah?!” Kanya kaget bukan kepalang melihat jejak merah di tangan bekas menyeka hidung tadi. Buru-buru ia menutup area hidung hingga mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Matanya yang semula sayu sekarang lebih berenergi sebab cemas, takut Rey melihat ia mimisan kemudian melapor pada Ayah Ibu di rumah.
Namun terlambat.
“Kenapa Nya? Mabuk? Mau muntah?” Rey bergurau, ia belum paham dengan perubahan sikap Kanya hingga ia melihat jejak merah di tangan Kanya. “Kamu mimisan, Nya?” Nada suara bergurau Rey tadi langsung berubah menjadi kalimat tanya yang cukup menginterogasi.
Sudah tidak bisa lagi Kanya mengelak, mau disembunyikan bagaimanapun ia tidak akan bisa menghindari Rey jika sudah mode detektif begini.
Rey segera melihat sekitar, mencari tempat yang aman untuk memarkirkan kendaraan. Ia memilih untuk parkir di bawah pohon kelapa di tepi jalan seberang pantai di sepanjang jalan lintas pesisir selatan
Rey membuka laci dashboard di depan Kanya setelah berhasil memarkirkan mobilnya. Kemudian tangannya sedikit mengobrak-abrik isi laci itu, ia mencari pertisuan duniawi.
Hap!
Dia mengambil kotak yang ia pikir kotak tisu, ternyata bukan. Itu kotak kamera polaroid yang sama ukurannya dengan kotak tisu. Ia kembali mengobrak-abrik laci dan menemukan apa yang ia cari. Rey segera menyerahkan sepaket tisu kering dan tisu basah pada Kanya dan disambut oleh gadis bertangan kurus itu.
“Aku rebahin kursinya mau?” Rey bertanya dengan nada cemas. Namun dibalas gelengan oleh Kanya. “Aku tidak akan menyentuhmu, Kanya..” Rey mencoba meyakinkan Kanya.
Kanya mengatur napasnya, kemudian menjawab, “Kalau mimisan tidak baik dibawa baring, nanti darahnya malah masuk ke tenggorokan, aku sudah mahir menghadapi situasi ini.”
“Kanya..?” Rey tidak habis pikir dengan perkataan Kanya yang teramat santai barusan. Berarti ini bukan pertama kalinya ia mimisan?
“Kalau kamu mau bantu aku cukup diam dan jangan beritahu Paman Tuamu itu, ia terlalu berlebihan mengkhawatirkanku, ia sudah cukup sering aku susahkan selama ini, paham Rey?”