Dua cangkir teh bertengger di atas meja makan, yang satu bibir cangkirnya bersih, satunya lagi ada motif kecupan berwarna merah pudar. Orang-orang mungkin yang akan menebak bahwa cangkir kedua itu baru saja diseruput oleh perempuan karena meninggalkan jejak lipbalm.
Benar itu cangkir teh milik Sapira. Kini pemilik cangkir itu sudah tidak di rumah, ia mengajak suaminya berbelanja ke pasar. Ibu cerewet itu bukan hanya pandai mengomel, tetapi juga pandai sekali memasak, ia ingin menyiapkan masakan penyambutan untuk Kanya. Sebelumnya ke pasar ia sempat mengirimi pesan singkat pada Kanya, ia bertanya anak semata wayangnya itu mau dimasakkan apa?
Bening Bayam, perkedel kentang, dan sambal caluk. Itu permintaan Kanya. Tetap sama menunya setiap pulang pasti sepaket menu itu tak pernah bosan ia minta dimasakkan oleh Sapira.
Setelah mendapat jawaban dari Kanya, Sapira dan Syam ke pasar naik becak. Ada kejadian lucu sewaktu mereka hendak berangkat tadi.
Sapira mencak-mencak saat Syam keluar dari garasi dengan menaiki onthel keluaran 1950-an, sepeda kebanggaannya sedari bujang, “Ayaaah..! nanti belanjaan kita banyak, oleng kalau pakai onthel. Ibu juga susah karena pakai rok, nanti tersangkut Yaah..”
“Bu.. kita harus biasakan naik kendaraan bebas polusi. Lagian biar lebih sehat orang tua macam kita naik sepeda begini.”
“Yah.. naik motor saja, biar lebih cepat.” Sapira merengek, ia sedikit kapok ujung mukenanya terlilit jari-jari sepeda hingga membuatnya hampir jatuh sepulang sholat subuh waktu itu.
“Kanya masih lama sampai bu..”
“Yasudah kalau ayah tidak mau bonceng ibu naik motor, ibu naik becak saja.. nanti kalau orang-orang tanya mana suami ibu? Ibu tinggal bilang ia tak mau mengantar istrinya ke pasar.”
Lucu sekali mendengar anak kecil berumur setengah abad merajuk. Sapira berjalan keluar pagar dengan menenteng tas belanja dari anyaman purun. Hadiah dari Kanya saat ulang tahunnya setahun lalu, anaknya itu membelikannya saat sedang melakukan perjalanan kerja ke Kalimantan Selatan.
Dan sebentar lagi ia akan berulang tahun lagi, begitu juga dengan Kanya. Ibu anak itu berulang tahun serempak. Manis sekali bukan keduanya menjadi hadiah satu sama lain, bertambahnya usia Kanya merupakan hadiah terbaik pada setiap ulang tahun Sapira.
“Bang.. ke pasar ya bang.” Sapira melambai-lambaikan tangannya sembari memanggil tukang becak di seberang jalan.
Tiba-tiba Syam sudah mengekor di belakang Sapira, saat naik ke becak Syam juga ikut naik. Sapira sudah tidak heran lagi dengan tingkah lelakinya itu. Tetapi ia tetap usil bertanya, “Kenapa ayah ikut? Bukannya tak mau mengantar ibu?”
“Nanti kalau ada yang tanya kenapa ibu naik becak dan ibu bilang suami ibu tak mau mengantar, ayah bisa bantah itu.” Gantian Syam membalas pertanyaan usil itu dengan gurauan.
“Waduh-waduh, ini saya jadi nyamuk nanti nih” goda tukang becak saat sepasang suami istri itu menaiki becak.
“Asal tidak menghisap darah kami, tak masalah bang.” Syam melawak.
“HAHAHAHAHA.. kalau bayarannya pas, aman itu pak, saya nggak gigit, kok!” Tukang becak itu membalas setelah menggelegarkan tawa atas lawakan Syam.
Tukang becak mulai mengayuh pedal, becak perlahan bergerak. Langit tidak begitu terik tetapi tetap hari yang cerah, angin sepoi-sepoi membelai pipi setiap penghuni kota di jalanan.
“Terakhir waktu ayah habis jual mobil untuk bayar uang kuliah Kanya ya Yah.” Sapira mengenang masa-masa berat dalam rumah tangga mereka.
Syam tertawa kecil, ia teringat masa-masa berat ketika ia ditipu ratusan juta saat mencoba terjun ke dunia bisnis dan disaat bersamaan Kanya yang sedang berkuliah sudah waktunya membayar biaya persemester yang cukup mahal.
Saat itu bisa saja Syam meminta Kanya untuk cuti kuliah satu semester dulu, tetapi masalah pendidikan Syam tidak ingin mematahkan semangat anak semata wayangnya itu. Jangan sampai permasalahan finansial membunuh mimpi mulia darah dagingnya. Apapun akan ia usahakan untuk nafkah halal yang akan menjadi daging bagi keluarganya ini. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menjual mobil agar bisa menata kembali fondasi finansial yang sempat porak poranda setelah kejadian penipuan.
“Ayah jual mobil itu bukan semata untuk membayar uang kuliah Kanya bu.. itu bentuk tanggung jawab ayah sebagai pemimpin keluarga, sekaligus latihan melepaskan rasa kepemilikan duniawi, semua yang ayah punya saat ini hanyalah titipan, istri, anak, harta, bahkan napas yang ayah hirup ini bukan milik ayah sebenarnya, semua milik Allah Bu.” Syam berpetuah.
Sapira tersenyum, ini alasan utama Syam lolos seleksi dan menjadi pemenang di hati Sapira. Dari banyaknya lelaki yang sempat singgah dalam perjalanan hidupnya, Syam yang paling sevisi dengannya dalam berbagai urusan, terutama dalam masalah keyakinan.
“Titipan ya Yah.." Sapira menyahut, "Jadi nanti kalau titipan itu diambil Pemiliknya kita harus ikhlas, begitu kan tujuan perbicangan kita ini?” Sapira teringat kembali kekhawatiran berlebihannya dengan kondisi Kanya. Matanya yang berhias bulu mata lentik itu berkaca-kaca. Aura kekhawatirannya terlihat begitu jelas.
Syam menghinggapkan tangan kanannya di lengan kanan atas Sapira, tangan kiri ia tepukan pelan ke pundak kiri istrinya, “Kuncinya kita harus lihai bersabar dan bersyukur Bu.”
“Makasih ya Yah, udah mau perjuangin ibu dulu. Bisa-bisanya enam kali ibu pura-pura tidak peka dengan lamaran ayah, hanya karena menunggu kepastian yang orang yang tak pasti." Sapira mengenang masa-masa ia mengabaikan Syam karena bersikeras menunggu cinta pertamanya datang menemui ayahnya.