“Eh, ini betulan kita waktu kecil dahulu, Rey?” Kanya masih takjub membuka lembaran demi lembaran album foto lawas milik Rey. Tadi ia ingin mengambilkan tisu dari dalam laci dashboard, kemudian menemukan album foto.
Kanya bertanya soal buku yang Rey simpan di laci dashboard. Rey bilang itu album foto lama, Kanya meminta izin untuk melihat isinya dan Rey mengizinkan.
“Makanya jangan sering asal bicara, cepat pikun kan sekarang..! aku kecil dahulu mana punya teman perempuan selain kamu, umm.. teman laki-laki juga tidak ada yang dekat sih.” Rey berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Eh, Ck.. memang tidak punya teman sih karena kebanyakan dikurung sama Mama di rumah, ahaha...”
Kanya sebenarnya tidak terlalu fokus mendengarkan celotehan Rey. Ia antusias melihat foto-foto yang dicetak dan terabadikan dalam sebuah album milik Rey, telaten sekali.
Awalnya tadi Kanya bingung harus menghibur Rey dengan cara apa lagi?
Untung saja ibu cerewetnya tadi mengiriminya pesan dan menanyakan, "Kanya mau ibu masakkan apa di rumah nanti?"
Gara-gara nada pesan masuk ponselnya ia atur sama seperti nada dering telepon, ia bisa berhenti sejenak dalam upaya menghibur Rey. Ia pikir Rey yang dewasa sudah tidak cengeng lagi, sebab pencitraan dirinya di sosial media sangatlah beda, ternyata ia masih sama seperti anak laki-laki berumur sembilan tahun yang menjadi tetangganya dahulu.
Usai membalas pesan dari ibu, Kanya melihat Rey meneguk air mineral yang lelaki itu ambil dari persediaan minum di pintu mobil. Setelah napasnya kembali normal, Rey meminta bantuan pada Kanya untuk mengambilkan tisu dalam laci dashboard.
Setelah menemukan apa yang dicari Kanya tertarik perhatiannya pada buku tebal bersampul kulit warna merah dengan motif bunga yang tercetak tegas dipermukaannya. Kanya yang sudah bosan berpura-pura tidur pun mengenang foto-foto dalam album itu. Gadis itu mulai membuka lembar demi lembar dan berhasil bernostalgia karena melihat foto-foto yang Rey abadikan.
“Rey.. aku ingat sekali dahulu kamu itu seperti anak orang kaya yang sombong dan tak terjangkau.”
“Hah..?” Rey dibuat bingung oleh pernyataan Kanya.
“Aduh, bagaimana ya menjelaskannya?” Kanya mencari diksi yang paling tepat untuk mendeskripsikan Rey kecil, “Hmm.. begini.. kamu itu anak orang kaya, kemana-mana dijagain sama pengasuh, itu seperti di sinetron anak kaya yang punya asisten pribadi, belum lagi barang-barang yang kamu punya.. Itu barang mahal yang diimpi-impikan banyak anak lainnya, paham tidak?”
Kanya takut penjelasannya malah sulit dipahami Rey. Untungnya Rey menjawab, walau jawabannya begini, “Hah.. jadi itu pandangan orang terhadap aku? Lucu ya, yang seperti itu sombong ya Nya?”
“Eh, mmm.. Kamu kan sedikit bicara waktu kecil, terus kalau menatap orang lain itu seolah mengintimidasi, jadi kita yang melihatnya itu bawaannya kesal gitu lho, kayak orang sombong mentang-mentang berduit gitu Rey, ya padahal kamu diam, tapi itu yang malah bikin kesal.” Kanya mengungkapkan dengan raut penuh ekspresif.
Rey masih tak habis pikir, di mana letak sombongnya? Mengapa mereka kesal? Rey tidak pernah meminta pada Tuhannya agar lahir dari keluarga dengan strata sosial yang diimpikan banyak manusia lainnya, malah jika bisa memberi masukan pada Tuhan, Rey tidak ingin itu. Menyusahkan, ia jadi sulit menemukan ketulusan dalam sebuah hubungan. Tapi, siapa dia yang bisa memberi masukan pada Tuhan?
“Kamu ingat Rey waktu kita dapat tugas bawa bekal untuk makan siang bersama, itu aku takjub sekali meliat bekal kamu, seperti tampilan menu di kemasan makanan, sayurnya segar, potongan dagingnya rapi, komplit intinya.”
Kanya bernostalgia betapa ia dahulu sangat ingin bertukar hidup menjadi Rey. Dari kecil ingin makan disuapi, bisa membawa bekal seperti tampilan di iklan-iklan, komplit ada sayur, banyak proteinnya, nasinya tidak selalu putih, selalu mengenakan jam tangan digital yang banyak angka, rambutnya seperti selalu dirapikan oleh hair stylist, wanginya juga menyenangkan untuk selalu di dekatnya. Yaa..sempurna terlihatnya.
“Terus sekarang saat tahu aslinya begini, pasti kamu menyesal, kan?” tanya Rey.
“Begini maksudnya?” Kanya balik bertanya.
“Tidak punya teman, cengeng, menyedihkan..” Rey menyebutkan satu persatu sisi lemah dirinya.
“Parah sih, kamu tidak menganggapku teman? Terus kalau kamu yang jarang terlihat menangis dan sekalinya menangis di labeli cengeng, lalu aku apa? Lagian apa salahnya menangis? Itu normal kok..!”
Triing.. triing.. triiing..
Ponsel Kanya berdering. Sepertinya tidak ada libur berdering bagi ponsel Kanya, baru dihubungi ibunya sekarang sudah ditelepon temannya. Ada panggilan masuk dari Rifna, teman kerja yang juga satu kost dengan Kanya. Kanya menerima telepon dari Rifna.
“Halo.. Nya..! Aku tadi mau jenguk kamu di RS kok kata resepsionisnya kamu sudah pulang dari semalam? Terus ini kamu kemana?” Terdengar suara perempuan yang cemas, mencecar Kanya dengan pertanyaan beruntun.
“Waduh.. maaf ya Na, aku lupa pamit.. tadi pagi aku dijemput temen buat pulang kampung, disuruh ayah pulang soalnya.” Kanya menjelaskan alasan kepulangannya.