Kembali pada kediaman hangat Syam. Sapira terlihat sedang bersila dengan berkostum mukena putih kebangsaannya. Perempuan berusia lima puluh tahunan itu baru saja menunaikan salat zuhur. Sendiri, sebab suaminya tak pernah absen beribadah di masjid.
Sapira mengambil Al-Qur’an yang bertengger di atas rekal jati yang setia bertahta ruang ibadahnya, lebih tepatnya di pojok depan ruangan. Sengaja diletakkan di sana karena ia dan Syam begitu memerhatikan adab dalam meletakkan kitab suci itu. Harus di depan tidak boleh dipunggungi, mereka percaya tempat menaruh Al-Qur’an dapat menentukan nasib mereka.
Karena kitab itulah petunjuk mereka dalam berkehidupan, layaknya kumpulan kisi-kisi yang membantu seseorang agar lolos dari ujian.
Sapira mencari juz dua puluh dua, tepatnya surah ke tiga puluh enam dalam kitabnya yang bersampul emas itu. Hingga akhirnya kedua mata Sapira yang sudah basah terlebih dahulu itu menemukan tulisan ‘Yasin’ di lembar sisi kiri kitab.
Besar harapan Sapira setelah membaca lafadz-lafadz yang diturunkan dari langit itu, ia bisa mendapatkan ketenangan. Ia tak mau memelihara kegelisahan hati sebab menunggu kepulangan putri semata wayangnya. Sepulang dari pasar tadi ia kembali teringat Kanya yang sedang sakit dan dalam perjalanan pulang. Lebih-lebih dengan ucapan Cik Lisa soal begal.
Jujur ia tidak suka dengan dirinya yang sering kali dikuasai oleh firasat buruk, ia jadi meragukan bahwa takdir Tuhan itu selalu baik Ia takut mempertanyakan takdir Tuhan jika belum bisa melihat kebaikan dari takdir yang ia anggap buruk. Intinya ia takut Kanya luput dari perlindungan Allah.
Sapira teramat ingin menelepon Kanya tetapi tidak mau anaknya itu malah makin sakit mendengar suara cemasnya via telepon. Sebelum berangkat ke masjid tadi ia ceritakan lagi kegelisahan hatinya itu pada Syam.
Suaminya pun berpetuah sebelum pamit pergi ke masjid, “Bacalah sungguh-sungguh surah yasin jika teh mawar dan perjalanan kita ke pasar tadi masih belum sepenuhnya menenangkanmu. Doakan putri kita selamat, ingatlah keistimewaanmu sebagai ibu, doamu itu adalah perisai bagi kejahatan yang ingin menyentuh putri kita.”
Sapira sepakat dengan nasihat Syam. Itu sebabnya sebelum menanggalkan mukena ia memutuskan untuk membaca Surah Yasin. Ia membaca dengan lancar hingga masuk pada ayat pertama juz dua puluh tiga, masih bagian dalam Surah Yasin tepatnya ayat dua puluh dua.
Wa maa liya laa a’budulladzii fatharanii wa ilayhi turja’uun.
Sapira mengulang-ulang membaca ayat itu tiga kali. Ia tak pandai berbahasa arab, tetapi entah mengapa ia merasa Tuhannya ingin menyampaikan sesuatu dari ayat yang ia baca. Ia familiar dengan beberapa kata di akhir ayat itu.
Wa ilayhi turja’uun.
Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan kembali.
“Benar Yaa Allah, hanya kepada-Mu lah kami semua akan kembali, hamba, suami hamba dan anak hamba.. semua akan kembali di sisi-Mu.. Tetapi bolehkah hamba memohon untuk berkahi umur anak hamba Yaa Allah.. Selamatkanlah ia dari segala marabahaya yang mengintainya, berikanlah nikmat sehat padanya Yaa Rabb.. Kabulkanlah doa hamba-Mu ini Yaa Allah, sesungguhnya hanya pada-Mu hamba meminta dan berserah, kabulkanlah Yaa Allah..”
Panjang permohonan Sapira pada Tuhannya, itu hanya sepotong doa yang ia ucapkan di pemberhentian pertama saat membaca Surah Yasin. Begitulah perempuan jika sudah menjadi ibu, tak pernah putus doanya untuk sang buah hati. Tetapi yang didoakan kadang terlupa mendoakan orang tuanya kembali. Tidak semua, tetapi ada yang begitu.
***
Langit menggelap sempurna, mobil SUV hitam sendirian melintasi kawasan rimbun pepohonan yang jauh dari pemukiman. Ada sedikit kecemasan menghantui Rey sebab Jalan Lintas Barat Sumatera ini terbilang cukup rawan dan menyeramkan. Bukan hanya mitos dari dunia lain saja, rumor tindak kejahatan di kawasan ini cukup membuat bulu kuduk meremang.
Rey memastikan dashcam-nya masih menyala.
“Kenapa sih Rey..?” Kanya merasakan atmosfer di dalam mobil mulai diselimuti sedikit kecemasan.
“Kamu mengikuti berita sengketa warga desa dengan perusahaan perkebunan karet di media tidak?” Rey menanyakan hal yang sebetulnya bukan menjadi sebab cemasnya.
Kanya teringat berita hangat awal bulan tentang warga desa di salah satu tempat di Pulau Sumatra yang hampir lima tahun bersengketa dengan sebuah perusahaan besar, cukup rumit permasalahannya. Sampai-sampai Gubernur setempat dibantu oleh Kapolres turun tangan untuk menghentikan tindak anarkis yang dilakukan oleh warga yang tak terima dengan hasil musyawarah.
“Konflik warga desa yang menghancurkan kaca kantor PT. Karet Raffles itu?” Kanya memastikan.
“Kita masuk daer-” Belum selesai Rey bicara, sudah terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Plok..!
Sebutir telur dilempar mengenai kaca mobil, lalu disusul oleh satu butir telur lagi.