Tuuut … Tuuut …
Syam mencoba menghubungi Kanya, berdering tapi tak diangkat.
Sejak pukul tujuh malam kemarin ia mencoba menelpon anak gadis yang ia khawatirkan nasibnya itu. Awalnya nomor ponselnya ‘menyambungkan’, Syam menyimpulkan mereka sedang di daerah susah sinyal. Maklum di daerah Sumatra masih banyak daerah-daerah yang belum merdeka sinyal.
Tetapi hingga pukul satu dini hari masih tak ada kabar dari Kanya. Memejamkan mata di ruang tamu adalah satu-satunya hal yang paling tega ia lakukan di tengah penantian. Paling selang lima menit ia terjaga untuk sekadar melunasi kantuk, itu pun sudah sirna sempurna sekarang.
Memang paling cepat enam belas jam perjalanan saja perkiraannya untuk sampai ke rumah. Tetapi berkabar itu harusnya jangan tunggu sampai dengan selamat dulu, ini yang Syam selalu wanti-wanti sejak awal Kanya izin merantau. Pamit, kabarkan selalu orang tua!
Mungkin jika salah satu antara Kanya dan Rey bisa dihubungi, Syam tak akan segelisah ini. Keduanya sama saja, tak berkabar.
Syam berdiri dari singgasananya di ruang tamu, berjalan perlahan menuju jendela, lalu mengintip suasana luar rumah. Gelap, sunyi, hanya berisi suara binatang malam. Apa yang sedang anak gadisnya lihat dan dengar sekarang?
Lelaki setengah abad itu menghembuskan napas berat, teramat susah hatinya menerima kenyataan jika dirinya bisa begitu tak berdaya seperti ini. Bayangan takut gagal menjadi seorang ayah selalu menggentayangi ruang-ruang kejiwaannya. Inginnya dia saja yang menjemput Kanya, jelas anak gadisnya itu akan ia lindungi dari segala marabahaya.
“Ayah, sudah berganti hari, tidurlah dulu gantian kita tunggu Kanya.” Sapira muncul dari bilik kamar.
“Sudah. Ayah sudah tidur.”
“Merem melek begitu, tidur ayam mana bisa bikin bugar Yah?”
Sapira berdiri pula di samping Syam, menengok luar. Penasaran dengan yang di lihat Syam. Nihil. Tatapan kosong ternyata yang dilakukan Syam tadi.
Sapira iba melihat Syam, tapi ia juga paham rasa khawatir yang menyelimuti pikiran suaminya. “Yah ... Bagaimana kalau jadwal sembahyang kita hari ini dipercepat saja? Daripada sekarang kita gundah tak menentu, bagaimana?”
Syam menoleh menatap wajah teduh Sapira ... Mengapa ia bisa lupa waktu begini?
Sudah masuk sepertiga malam terakhir. Waktu paling utama untuk beribadah sunnah. Salat Tahajud. Waktu di mana Tuhan yang Syam percaya turun ke langit dunia. Turunnya Tuhan di waktu itu untuk mengabulkan setiap permohonan, memberi apapun yang diminta hamba-Nya, mengampuni setiap harapan hamba-Nya yang memohon ampunan. Batasnya hingga posisi matahari berada dalam kurun waktu minus dua puluh hingga minus delapan belas derajat tiap harinya.
Sepasang suami istri itu beranjak dari ruang tamu, bersuci dan mengenakan wewangian. Kemudian mendatangi ruang ibadah dalam rumah. Syam membentang sajadah tambahan di depan sajadah Sapira. Ia menoleh ke belakang, memastikan makmumnya siap untuk dipimpin beribadah.