Langit mendung menyelimuti kota di akhir pekan, orang-orang malas bergerak dibuatnya. Paling enak menyeruput minuman hangat lalu berkemul selimut di atas kasur.
Harusnya bisa saja Syam dan Sapira begitu. Teh mawar sudah diseduh, tetapi hanya tergeletak di meja makan. Peracik dan peminumnya hilang dari ruang itu setelah menerima telepon. Sekarang dua manusia itu ditambah Pakcik Ahmad—suami Cik Lisa, tengah menempuh perjalanan menuju RSUD. Lagi-lagi mereka ditelepon oleh pihak rumah sakit.
Ibu cerewet sudah mulai kehilangan motivasi untuk berbicara, hanya terisak saja yang ia lakukan. Syam betah menatap kosong jalanan. Masih bergemuruh hati lelaki itu saat mendapat kabar bahwa Kanya harus di rujuk ke RSUD di pusat kota, agaknya susah kali mengembalikan anak itu masuk kembali ke rumah mereka. Apa memang rumah Kanya itu ada rumah sakit?
Tak tau harus Syam alihkan ke mana tatapan kosongnya, tiba-tiba dari kejauhan kupingnya menangkap bunyi yang makin memborbardir ketakutannya. Sebuah sirine dari kendaraan medis yang selalu minta didahulukan lajunya.
Sontak ia menoleh ke belakang. Makin dekat bunyi menegangkan itu. Pakcik Ahmad sadar diri, ia mengarahkan laju mobil pick up yang ia kendarai ke tepi jalan. Siap siaga memberi ruang pada kendaraan prioritas di belakangnya.
“Yah… Ayah.” Sapira meracau dan makin terisak. Tubuhnya gemetaran dan tangan kiri mencoba meraih sesuatu untuk digenggam.
Syam menggenggam tangan kiri yang minta ditenangkan itu. Akhirnya ia ada agenda selain menatap kosong jalanan. Tetapi haruskah yang mengalihkan kekosongannya itu sirine cepat yang menggusarkan hati?
Hancur sekali tampaknya hati Syam, sorot matanya tampak tak berdaya, merah karena kelopaknya menampung banyak beban. Tak henti-henti ia menyalahkan diri sebab menyuruh Kanya pulang bersama Rey kemarin. Keputusan paling fatal dalam hidupnya yangg barangkali akan menjadi penyesalan seumur hidupnya.
Seorang gadis dengan luka terbuka di kepala, memar di belakang telinga dan sekeliling mata, sedikit sayatan benda tajam ditangan, dan tak sadarkan diri. Gadis itu dibawa pihak kepolisian ke RSUD dan butuh segera ditindak dengan penanganan yang lebih serius, pihak rumah sakit menelepon keluarga gadis untuk diminta persetujuan.
Gadis itu adalah Kanya, Syam adalah pihak keluarga yang menerima telepon saat Sapira menyeduh teh mawar pagi tadi.
Ayah mana yang tak hancur hatinya mendengar kabar buruk tentang darah dagingnya, terlebih putri yang sangat ia jaga keselamatannya sejak dalam kandungan sang istri. Bahkan seekor nyamuk pun tak akan ia biarkan mengisap darah putrinya saat terlelap di ranjang bayi. Ia pikir ini adalah titik gagalnya menjadi seorang pria, tidak bisa melindungi orang-orang yang ia cintai.
Terjun juga akhirnya air mata penyesalan yang Syam penjarakan dalam kelopaknya yang sudah melar. Ini pertama kalinya ia menangis selain di hadapan Tuhan. Mungkin tersengat getaran kesedihan saat menggenggam erat tangan Sapira, jelas Sapira yang lembut sekali hatinya tak kuasa menahan isakan mendengar kabar buruk tentang putri semata wayangnya. Mungkin juga karena perih sebab tak berani ia kedipkan barang sedetik.
Pakcik Ahmad melirik kaca spion tengah, matanya begitu tajam dan awas saat ambulans makin mendekat.
Wiu… wiu ... wiu ...
Mobil putih melewati kenderaan mereka, frekuensi sirinenya yang cepat menandakan sedang mengangkut pasien dalam kondisi gawat darurat. Pakcik Ahmad sebenarnya tak berniat mengekor ambulans itu. Tetapi jalan menuju alamat tujuannya barangkali sama dengan ambulans. Hingga tak perlu lagi memutar playlist apapun, suara sirine berisik itu menjadi satu-satunya pengisi suasana dramatis.
“Itu ...” Sapira berusaha keras mengeluarkan suara yang tertahan dari mulutnya. “... hahh ...” belum berhasil ia mengungkapkan kata, Sapira macam ikan kehabisan napas, lalu diteguknya ludah berharap mendapat kekuatan untuk bicara.
“Cap, istighfar Cap … banyak berdoa saja,” tegur Pakcik Ahmad.