Selamat Ulang Tahun

Firlia Prames Widari
Chapter #12

Paman Tua - 3

Dunia adalah tempat orang-orang baik harus berusaha lebih keras. Terdengar tak adil, tetapi kita tak boleh menyerahkan dunia pada orang yang jahat.

“Tolong beri kesaksian sejujur-jujurnya Rey!” Syam menekankan ucapannya.

“Siap Paman,” jawab Rey dengan suara penuh keyakinan.

Ranjang pasien yang ditiduri Rey didorong oleh tim penyidik menuju ruangan VIP. Sekilas mereka tampak seperti orang biasa, pakaiannya saja sama seperti masyarakat sipil. Sengaja orang-orang kepolisian itu tidak menggunakan seragamnya agar tidak menarik perhatian sekitar.

Syam memandang ranjang pasien yang bergerak makin menjauhinya hingga hilang sempurna dari pandangan. Prihatin ia dengan kondisi anak bujang malang itu. Ayahnya sudah tiada, ibunya harus memprioritaskan kerja.

Rey sebetulnya bukan anak sebatang kara, masih ada orang tua. Ibunya bekerja sebagai wakil rakyat. Syam paham sebenarnya Vanesa—Mama Rey, itu masih sayang dengan putra semata wayangnya. Hanya saja Rey menentang pernikahan Vanesa dengan seorang pengusaha media. Rey tak mau dibawa Vanesa ikut tinggal bersamanya di pulau seberang.

Syam sudah mengabari Vanesa perihal musibah yang dialami anak-anak mereka. Ia juga menyampaikan maaf karena telah meminta bantuan pada putra Vanesa, hingga akhirnya terjebak dalam kasus rumit.

Kanya kritis sebab cedera kepala berat, namun dijadikan tersangka pembunuhan. Rey luka parah di lengan kanannya akibat terkena bacokan sajam dan dimintai kesaksian oleh tim penyidik.

Tak masuk akal sekali, mereka korban pembegalan namun ditetapkan menjadi tersangka. Syam ingin bingung tapi dia lebih bingung lagi bagaimana putrinya itu bisa membunuh laki-laki yang harusnya jauh lebih kuat dari Kanya.

Lagi-lagi ia berharap pada kesaksian Rey.

Sedangkan Vanesa tadi apa kabarnya?

Ibu pejabat itu mengirimi Syam sejumlah uang bernominal besar dan meminta Syam merawat anaknya, ia sedang diburu jadwal rapat pengesahan Rancangan Undang-Undang, tidak bisa ditinggal, ‘kan dia wakil rakyat’.

“Jangan sampai beritanya jadi besar, mohon kerja samanya Syam, atau saya bisa saja membuat tuntutan untukmu.” Vanesa berpesan demikian sebelum menutup telepon Syam.

Pongah sekali.

Ini sebabnya Syam benci berutang budi dengan manusia. Sewaktu-waktu ia harus siap membayarnnya dengan tebusan apapun, waktu, idealisme dan bahkan prinsip-prinsip hidup. Namun, Syam tak boleh gegabah.

Syam menghentikan lamunannya di ruang rawat inap pasien, ada Sapira yang menunggunya di ruang tunggu pasien ICU. Awalnya Syam berat harus meninggalkan Sapira menunggu disana sendiri, tetapi Cik Lisa ternyata menyusul menggunakan mobil travel, membawakan bekal untuk ia dan istrinya. Usai memastikan Sapira makan walau sedikit suapan, Syam harus bertindak sebagai wali Rey juga.

Mau bagaimana pun juga ia merasa bersalah telah ikut andil menarik Rey dalam situasi tak terduga ini, kalau saja ia tak meminta bantuan pada Rey mungkin ia tak harus menjadi wali dua korban pembegalan. Juga mungkin anak-anak ini tak harus mengalami pembegalan.

Mungkin.

Syam berandai-andai.

Syam kembali teringat dengan perbincangannya bersama Rey setelah anak bujang itu siuman. Tak sampai hati sebenarnya ia menanyakan bagaimana kronologi yang terjadi. Namun, Rey yang tergerak lebih dulu meminta maaf dan menjelaskan kronologi musibah yang menimpa mereka.

Mobil Rey dilempari telur oleh sosok misterius, lalu mobilnya terjebak di lubang dengan ban yang mengempis, kemudian di serang oleh begal hingga terjadi pertumpahan nyawa dan melayangnya nyawa.

“Mereka yang membegal tapi terjegal, memang pantas mati!” Rey mengakhiri penjelasannya dengan umpatan.

Syam tak menegur, sebetulnya ia setuju dengan umpatan Rey, hanya saja ia tak mau terlihat mendukung sikap mengumpat.

Lihat selengkapnya