“Ditolak lagi,” lirihnya.
Setelah empat kali pengajuan permohonan ke Balai Uji untuk proses pengujian Perangkat dan Alat Telekomunikasi, hingga sekarang masih selalu ada kekurangan dalam pelengkapan persyaratan yang di-submite. Ini sudah kali kelima pengajuannya ditolak dengan keterangan catatan yang diberikan oleh pihak Balai Uji. Dia melirik binder yang biasa digunakan untuk mencatat hal-hal penting. Tertulis nama ‘Sidney’ di halaman pertama buku tersebut. Nama yang diberikan oleh sang Ibu untuknya.
“Sudah jam segini kok masih belum pada dateng ke kantor. Biasanya sebelum jam delapan udah lengkap,” gumamnya.
Keheningan masih terus menemani Sidney. Tak lama kemudian terdengar kalimat ‘thank you’ sebagai tanda adanya yang melakukan absen fingerprint. Suara langkah kaki kian terdengar. Derapnya terkesan buru-buru.
“Pagi,” sapa Sidney sembari memutar arah kursi.
“Pagi juga, Sidney. Lo berangkatnya pagi terus, ya.”
“Bukan gue yang selalu pagi, tapi lo yang emang sering kesiangan,” sahut Sidney, dibalas kekehan oleh Sheldon.
“Di bawah masih sepi. Tim Teknik pada ke mana, Sid?”
“Oh, ada maintenance di Banten. Mereka langsung jalan ke sana, mungkin,” jawab Sidney ragu-ragu. “Eh, enggak deh kayaknya. Soalnya setahu gue kumpul di kantor dulu, kecuali Pak Axel.”
Sheldon mendudukkan bokongnya yang sedari tadi belum mendarat di kursi. Lantas mengeluarkan laptop berwarna hitam dari dalam laci. Pun ketika jemari kokoh pemuda itu menekan tombol power, semua itu tak luput dari pengamatan Sidney.