“Sid, kamu di mana?”
“Saya di pinggir jalan. Dekat lampu merah, Pak,” sahut Sidney sembari menempelkan benda pipih berlogo apel tergigit di telinga.
“Lampu merah yang mana? Kamu kira di Jakarta cuma ada lima biji lampu merah doang, hah?!”
Sidney berdecak kesal. Pasalnya awan mendung kian memayungi sebagai tanda awal musim hujan. Terlebih lagi bising di sekeliling membuat dia kesulitan mendengar suara Axel. “Santai dong, Pak. Nggak usah ngegas juga kaleus. Bapak cari saya aja enggak sabaran, apalagi cari jodoh. Pantesan enggak laku-laku.”
“Ya… siapa tau kamu jodoh saya. Jadi, saya sekali jalan ketemu kamu sekaligus menjemput jodoh,” ucap Axel.
“Itu emang dasar Bapak ngarep. Udah, buruan ke sini. Saya capek berdiri terus di pinggir jalan. Bapak mau saya pecat sebagai kandidat, ya?”
“Jangan sembarangan. Tunggu, sebentar lagi saya sampai,” jawab Axel. Sebelum sambungan telepon terputus, Sidney masih sempat mendengar suara kekehan Axel. Tidak lama setelah itu Axel tiba. Tentu saja Sidney pasang wajah kesal karena dibiarkan menunggu lama di depan Gedung Sapta Pesona. Ya… memang pemandangan lumayan indah di sore hari, apalagi puncak Monas pun terlihat dari tempat Sidney berdiri, tetapi cuaca jelas tidak mendukung untuk berleha-leha menikmati suguhan keramaian kendaraan kota Metropolitan.
“Sudah, jangan pasang tampang tersiksa begitu,” goda Axel, senyum geli menghiasi wajahnya.
“Saya nunggu lama lho, Pak. Boleh lah sok ngambek. Kan biar sama kayak perempuan-perempuan lain, Pak.”
Axel terkekeh, sedangkan Sidney menggigit pipi bagian dalam.
“Waduh, jangan ikut-ikutan seperti perempuan-perempuan tukang ngambek dong,” ucap Axel kemudian. “Gimana tadi progress-nya?”
Sidney menoleh ke arah sang pemilik kuasa perusahaan tempatnya bekerja. Axel membalas sekilas tatapan Sidney, lantas kembali fokus pada kemudi.
Terdengar helaan napas panjang. Sidney menyandarkan kepalanya, lalu melayangkan pandangan ke sekeliling. Gelita mulai menyapa nebastala. Lampu-lampu penerang jalan sudah menyala. Tak ada bintang yang membuka pekatnya malam. “Harus nunggu hasil dari Balai Uji terlebih dahulu supaya SDPPIⁱ bisa upload hasil pengujian perangkat. Setelah itu sertifikat postel bisa keluar. Ini memang peraturan baru. Awalnya sistem berjalan dengan menggunakan SP2, sekarang berubah menjadi FP3. Awalnya saya kira enggak sulit. Ternyata memang nggak semudah yang saya bayangkan, Pak,” keluh Sidney.
Axel tersenyum menanggapi keseriusan Sidney. Senyum di wajah Axel semakin merekah tatkala Sidney menyandarkan kepala di bahu kirinya.
“Enggak apa-apa. Santai aja. Nggak masalah kok. Saya tau kamu sudah berusaha supaya kita bisa kejar sertifikat postel. Terlebih selama ini harus berkali-kali mengembalikan form Deklarasi Teknis untuk dilengkapi oleh pihak pabrik,” ucap Axel. “Jangan terlalu capek. Saya enggak tega lihat kamu lemes begini,” imbuhnya.
“Namanya kerja mana ada, sih, yang enggak capek, Pak?”
Axel terbahak. “Kita sudah enggak lagi di jam kerja. Jangan pakai embel-embel ‘Pak’ lagi. Saya enggak suka.”
Sidney meringis. Masih enggan meninggalkan bahu Axel sebagai sandaran. “Bapak, kan, pimpinan di perusahaan.”
“Kamu resign aja dari perusahaan, mau enggak? Nikah sama saya dan kamu cukup jadi bendahara rumah tangga kita.”
Sidney terkekeh pelan. Sirat lelah di matanya perlahan tergantikan dengan pancaran yang sukar digambarkan dengan kata-kata.
“Blushing, eh?”
“Ini ceritanya aku dipecat, ya?”
“Kalau pecat kamu dari kantor bisa bikin kamu cepet jadi istri saya, kenapa enggak?