Bab 1
Malam Tak Pernah Pagi
Tengah malam. Mama mengguncang bahuku supaya lekas bangun. Wajahnya basah. Seperti baru siap menangis. Samar-samar kulihat jarum jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Di sudut pintu kamar sudah tampak koper hijau daun milikku yang gemuk dan padat. Persis seperti perut papa yang menyembul dari kancing kemeja sehabis makan nasi padang favoritnya.
Koper itu seperti baru saja disusun. Seingatku kami tidak punya rencana liburan minggu ini. Tidak juga ada berita Bude Haida, istri Wak Rahman yang asmanya sering kambuh subuh-subuh itu kumat lagi. Biasanya memang kalau Bude Haida kambuh, mama yang ditelepon abangnya buat meminjam mobil ke rumah sakit. Lalu kami akan langsung tancap gas menuju kampung yang berjarak sekitar 5 km dari rumah.
Sebenarnya aku tak terlalu suka pada Wak Rahman, sebab sering kali minta tolong tak kenal waktu. Seperti orang tak tahu diri, dia bahkan pernah menawarkan satu dari tujuh anaknya untuk dibawa mama pulang menjadi adikku. Takut aku kesepian, katanya. Namun satu hal yang paling menyalakan api dibenakku adalah ketika mobil itu dipakai bukan hanya untuk mengantarkan Bude Haida, tapi juga ikut mengangkut satu kampungnya bolak-balik ke rumah sakit. Padahal para tetangga yang sok khawatir itu hanya ingin ikut merasakan sejuknya naik mobil ber-ac. Aku tahu dari percakapan mereka di rumah sakit waktu itu.
"Sering-sering aja si Haida ini kambuh ya kan. Biar kita juga bisa sekalian jalan-jalan," ucap ibu yang di bawah bibirnya tumbuh besar tahi lalat. Lemaknya berlipat-lipat dan tampak kesusahan berjalan, tapi masih sempat mengatai tetangganya sendiri.
"Iya, kalau mengharapkan suamiku sih tunggu lebaran, sekali setahun baru bisa dibawa keliling. Itu juga paling jauh ke Indomaret," timpal yang lainnya.
Mengingat kejadian itu aku semakin malas berurusan dengan keluarga Wak Rahman dan orang-orang kampung sana. Menurutku mereka semua sama seperti gerombolan cyanobacteria yang jika terlalu banyak bisa mencemari kualitas air danau. Sama seperti warga kampung Wak Rahman yang lama-lama bisa merusak mental dan pikiran kami.
Tapi selain masalah Wak Rahman, satu hal lagi yang terasa janggal yaitu sekolahku masuk pukul 7.00. Terlalu pagi untuk pergi ke sekolah. Lantas untuk apa mama membangunkanku sepagi ini? Baru saja mau protes tentang ketidakadilan hidup ini, mama tiba-tiba merobek lamunanku.
"Ayo cepat ikut ke mobil! Semua barang kamu sudah ada di koper!" ajak mama buru-buru. Ia menarik tanganku ke luar kamar sembari menggenggam koperku menuju mobil expander yang sudah menyala di garasi.
"Ta-tapi kita mau kemana ma? Ke rumah Wak Rahman lagi? Memang ya orang miskin taunya ngerepotin doang! Istrinya yang penyakitan kok orang terus sih yang disusahin!" gerutuku kesal. Bagaimana tidak, kedua mataku saja masih belum terbuka seutuhnya karena mengantuk, tapi sudah disuruh ini itu.
"Athirah! Ini semua bukan soal Wak Rahman, tapi kamu! Kalau anak yang kamu dorong dari lantai dua itu nggak patah tulang sampai koma, kamu nggak bakal kami umpetin di pesantren! Cepat masuk ke mobil!" teriak mama. Suaranya seperti petir yang berpesta di atas langit.
Aku terperanjat. Anak itu, Intan Bayaqoh, si kacamata bertubuh seperti kendi ari-ari itu lompat sendiri dari lantai dua. Bukan aku yang mendorongnya. Aku memang tak pernah suka padanya yang manipulatif dan sok disegani sebagai ketua kelas. Namun tak pernah terpikirkan bagiku untuk membunuhnya. Sebab kalau dia mati dan jadi hantu nanti, bukannya dia bisa lebih leluasa untuk menyakitiku?
Di dalam mobil, mama masih mengulang-ngulang kejadian sebelum dapat telepon dari kepala sekolah yang mengatakan jika ditemukan gunting kuku milikku di saku rok Intan. Berulang kali juga aku membantah sampai papa hampir menabrak tiang listrik di tepi jalan.