Selasa Pukul 03.00

Anggi Gayatri Purba
Chapter #2

Mauri dan Sila

Bab 2

Mauri dan Sila

   Mobil kembali melaju dengan kecepatan macan. Entah mengapa papa juga tampak seperti diburu-buru sesuatu. Apa karena takut pesantrennya tutup? Atau sekarang kami sedang dikejar polisi? Pikiranku liar menggerayangi masa depan. Aku tak berani bertanya sebab wajah mama dan papa terlihat sangat tegang seperti kawat jemuran.

   Setelah keluar masuk hutan dan melewati beberapa jalan berbukit serta persawahan yang luas, papa berhenti di depan sebuah bangunan kuno beratap kubah dengan tulisan kaligrafi di setiap pilarnya. 

   "Sudah sampai," ujar mama.

   "Kamu yakin Athirah bakal baik-baik saja di sini?" tanya papa.

   Mama mengangguk. Aku menggeleng.

   Langit sudah mulai berubah jingga. Sebentar lagi akan bercampur ungu tua, lalu kemudian menghitam menjadi malam. Pesantren ini dikelilingi lautan sawah yang sudah menguning. Tapi tak ada satu pun rumah warga atau bahkan masyarakatnya berkegiatan di sepanjang jalan seperti menggotong cangkul atau pun memanen padi. 

   Mama dan papa keluar dengan tergesa, sementara aku masih ragu-ragu untuk melangkah. 

   "Athirah! Cepat!" panggil mama. 

   Aku menurut. Di depan gerbang, kami disambut seorang wanita berjilbab panjang sepinggang dengan semringah. Wajahnya polos tanpa riasan bedak sama sekali. Bau tubuhnya seperti baju kering yang dicuci dengan sabun batang.

   "Ayo Pak, Bu, sudah ditunggu sama Bu Nyai," sapanya. "Saya Fatonah, kepala pengurus asrama putri di sini," katanya lagi memperkenalkan diri. "Monggo, lewat sini," ajaknya seraya menurunkan jempol dan tangan kanannya ke bawah.

   Kami mengikutinya melewati sebuah lorong utama yang panjang seperti gorong-gorong. Melihatku yang agak takut memperhatikan jalan utama menuju ruangan Bu Nyai, wanita itu kembali berkata," Lorong panjang ini sengaja dibuat supaya para santri takut kabur tengah malam," ujarnya sedikit tersenyum. Aku hanya nyengir mendengar leluconnya. Setelah beberapa menit berjalan di terowongan utama, kami pun tiba di ruangan Bu Nyai.

   "Gimana perjalanannya ke sini?" tanya Bu Nyai langsung pada mama.

   "Lumayan panjang Bu Nyai," sambung mama sambil memeluk dan mencium tangannya. Dari bahasa tubuhnya, mereka berdua seperti sudah kenal lama.

   "Ndak nyangka lo kamu masih ingat tempat ini," ujar Bu Nyai. Senyumnya teduh khas perempuan tua bersahaja.

   "Pesantren ini satu-satunya tempat yang saya percaya bisa menjaga anak saya," ujar mama."Tolong titip anak saya Bu Nyai, dia masih muda tapi nakalnya udah mirip tahanan di Nusa Kambangan. Tolong dididik, kalau perlu dihajar sekalian supaya bisa jadi orang baik," ucap mama lagi.

   "Ya sudah, ini siapa namanya Ndok?" Bu Nyai akhirnya menoleh padaku. Suaranya terdengar parau namun lembut khas orang tua. 

   "Athirah, Bu Nyai."

   "Kamu nanti bakal masuk ke kelas Isnani ya. Sebentar lagi bakal diantar Bu Fatonah ke pondok."

   Bu Fatonah langsung berdiri dengan sigap, siap mengantarku ke pondok putri. Aku melirik ke arah mama dan papa yang tengah duduk di sofa. Apa ini sudah saatnya pamitan? Tadi pagi baru saja aku bertengkar dengan mama. Sore ini juga aku harus berpisah dengannya. Raut mama dan papa seolah menunjukkan rasa bersalah karena akan meninggalkanku di sini. 

   "Ayo Ndok, silakan, ikut Umi Fatonah," ujar Bu Nyai mengingatkan.

   Aku sebenarnya tak ingin pergi, tapi kakiku bergerak sendiri mengikuti langkah Umi Fatonah. Aku ingin berteriak jika aku tak ingin berada di sini, tapi mulutku seperti dijahit oleh benang tak kasat mata. Mataku bahkan sampai mengucurkan anak sungai ketika melihat kedua orang tuaku hanya bergeming. Mereka hanya menatapku dengan pandangan kosong. Tapi dari gerak bibir mama aku bisa membaca jika ia berkata," yang sabar ya Nak, kami pasti bakal jemput kamu lagi kalau sudah waktunya."

   Saat mengikui Umi Fatonah, ponselku tiba-tiba berbunyi,"Shopee pe pe." Umi langsung memarahiku. 

Lihat selengkapnya