Bab 3
Ratu Pondok
Sehabis tahfidz qur'an dan salat isya berjama'ah, aku pikir bisa langsung kembali ke kamar dan istirahat. Namun Basimah langsung menarik tanganku ke arah lain. Kami dan para santriwati lainnya harus ikut antri, menunggu di pintu masuk ruangan penuh hidangan yang cukup luas. Di bagian belakangnya sudah tersusun nasi dan lauk yang siap dibagi.
"Kamu tunggu di situ, saya mau ambil makan malam buat kita," perintah Basimah sambil menunjuk ruangan di sebelahnya yang juga diduduki santriwati lain.
Tak lama ia kembali dengan talam besar berisi nasi dan tahu tempe di tangannya.
"Ayo cepat makan," ujarnya."
Aku berdiri memperhatikan sekitar. Lalu bergegas keluar dari ruangan itu untuk mencari sesuatu.
"Mau kemana?" cegahnya.
"Mau cari piring."
"Di sini makan tidak pakai piring, tapi pakai talam. Satu talam buat empat orang," jelasnya. "Makannya juga jangan banyak-banyak ya, sebentar lagi Gami sama Layyanah datang."
Aku seperti baru saja disengat ubur-ubur. Terkejut. Empat buah tahu dan tempe goreng yang disiram sayur kol serta kacang panjang bening itu harus dibagi untuk 4 orang? Gila, pikirku. Pelit sekali. Di rumah aku selalu bisa pesan ayam goreng cepat saji atau spaghetti carbonara kesukaanku setiap hari. Kadang bila bosan aku tinggal minta dibuatkan sop buntut dan ayam goreng kalasan khas daerah Mbok Iyem. Tapi di sini aku harus makan seiris tempe dan tahu bersama 3 orang lainnya, bersama-sama. Aku benar-benar ingin pergi mengurung diri di kamar. Tapi perutku sudah sangat berisik. Sesaat aku sangat menyesal karena tidak ikut makan di warung sederhana tadi siang.
Mau tak mau kumakan juga tempe dan tahu hambar itu dengan nasi putih yang rasanya sama saja seperti nasi putih biasa. Begitu miskinkah pesantren ini sampai garam saja pun tak bisa dibeli? Pertanyaan ini ingin sekali kutanyakan pada Basimah. Tapi masih kutahan sebab takut dia akan melapor pada Bu Fatonah, kepala pengurus asrama yang tak berperasaan itu. Lagipula aku belum terlalu dekat dengannya.
Tak berapa lama santriwati lain muncul membawa ceret dan cangkir plastik. Mereka mendekat dan duduk lesehan bersama kami.
"Gimana sih ketua kamar masa santri barunya disuruh makan ndak pake minum?" seru salah satu dari mereka.
"Mengambil minum kan tugas dayang-dayang," balas Basimah. Tak kusangka sekarang dia baru benar-benar bisa bercanda.
"Lalu mengambil makan tugas siapa? Ya sama dong pelayan juga," sambung yang lainnya.