Selasa Pukul 03.00

Anggi Gayatri Purba
Chapter #4

Sesuatu di Ladang Jagung


 Bab 4

Sesuatu di Ladang Jagung



   "Kamu udah bangun? Satu jam lagi salat tahajud. Lebih baik tidak usah tidur lagi."

   "Iya, apalagi kamu kan pemula, bisa lebih ngantuk kalau ketiduran pas tadarus nanti, sambung Gami yang juga sudah bangun.

   "Kenapa saya ada di sini? Seingat saya tadi barusan keluar dari kamar mandi."

   "Ini memang salah saya, seharusnya saya nemenin kamu biar nggak salah masuk kamar mandi," ungkap Basimah.

   "Siapa yang nyalahin kamu? Yang salah itu si santri mata abu-abu judes yang gedor-gedor pintu kamar mandi orang seenaknya, padahal pintu lain masih banyak loh yang kosong!" geramku. "Anak kelas mana sih dia? Biar saya kasih pelajaran."

   Basimah dan Gami saling berpandangan. Entah aku salah bicara karena sok jagoan atau karena mereka menganggapku gila.

   "Saya lupa ngasih tahu kamu larangan-larangan yang ada di pesantren ini. Mumpung ada waktu, kamu denger baik-baik ya," jelas Basimah.

   "Pesantren ini dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Wahid, Isnani dan Salasa yang setara dengan kelas 1, 2 dan 3 tingkat SMA. Tapi dari 99 santri ada yang dinamakan "Aimra'at Alshajara" yaitu empat perempuan khusus yang disiapkan untuk menjadi menantu Kyai setelah lulus dari pesantren. Selain itu disiapkan juga empat gadis lainnya, istilahnya sebagai cadangan apabila salah satu dari keempat gadis terpilih itu tertimpa kemalangan. Empat gadis tersebut diperlsayakan dengan istimewa, dikasih makan enak dan diberi hak untuk mengatur serta mendisiplinkan para santri badung, terutama yang mencoba kabur. Tapi saat ini para perempuan masih terpilih 3, kurang satu lagi, sebab Bu Nyai masih belum menentukan siapa orangnya," terang Basimah.

   "Atas dasar apa Bu Nyai memilih para calon menantunya?" tanyaku tertarik.

   "Kami juga kurang tahu." 

   "Semua begitu tiba-tiba. Tiba-tiba saja Bu Nyai langsung mengumumkan satu per satu nama-nama santri yang akan menjadi menantunya."

   "Biasanya kalau Bu Nyai sering mengunjungi salah satu kamar, di situlah calon mantunya berada."

   "Syukurlah. Bu Nyai nggak pernah kemari," celetukku.

   "Hush, kalau sampai Bu Nyai dengar, kamu bisa dianggap meremehkannya," ujar Gami sembari melirik ke arah kanan dan kiri.

   "Kenapa pula?" tanyaku.

   "Di sini semua santriwati berlomba-lomba buat jadi mantunya Bu Nyai." 

   "Apa mereka tidak ada yang mau pulang? Atau sekolah? Masa cita-cita mau jadi mantunya Bu Nyai," balasku dengan nada tak terima dan setengah mengejek.

   Basimah dan Gami terdiam. Raut mereka tiba-tiba saja berubah murung. Apa lagi-lagi aku salah bicara? Suasana menjadi canggung. Aku tak berani bicara lagi. 

   Sambil mencari-cari topik di sekitar kamar, aku memperhatikan satu persatu santriwati yang masih tidur di ranjang mereka. Kuhitung juga jumlah mereka, namun tak kunjung kutemukan Mauri dan Sila.

   "Mauri dan Sila mana ya?" tanyaku mencoba memecah sunyi.

   "Ya ampun kan sudah saya kasih tahu di sini ndak ada yang namanya Mauri sama Sila." Basimah tampak sedikit kesal melihatku yang masih tak percaya pada perkataannya.

   "Yang ada Ana sama Maryam," ujar Layyanah yang dari tadi menyimak sejak bangun tidur.

   "Atau Laika sama Sahara," sambung Gami.

   "Siapa lagi mereka itu?" Aku semakin bingung.

Lihat selengkapnya