Bab 5
Tamima dan Tsamara
Entah mengapa cuaca pagi yang harusnya hangat malah membuatku keringat dingin. Santriwati yang barusan disentuh Tamima itu langsung lumpuh dan tak bisa bicara. Ia hanya bisa mengesot sambil berteriak-teriak tak jelas ke arah kami. Melihat hal itu, para santriwati lainnya langsung berebut keluar dari ladang jagung, menyelamatkan diri masing-masing. Aku pun ikut lari bersama mereka, tak mau berurusan dengan dua santriwati berkulit pucat tadi. Aku langsung menuju ruangan yang biasa dipakai untuk makan semalam, namun sudah tak ada yang tersisa. Basimah, Gami dan Layyanah juga tak ada. Kulihat matahari sudah condong di atas kepala, astaga! Sudah siang! Entah sudah berapa jadwal yang kulewatkan. Karena tak tahu harus apa aku pun memutuskan kembali ke kamar Maimunah.
Namun untuk sampai ke kamar Maimunah aku harus memutar kembali dari ladang jagung, agar tak ketahuan bolos pelajaran di hari pertama jika harus melewati bangunan sekolah. Walau masih agak ragu bertemu Tamima lagi, aku justru lebih takut ketahuan Umi Fatonah dan dilaporkan pada Bu Nyai.
Aku mulai berjalan sembari terus memperhatikan sekitar, ladang jagung tampak sunyi dan kosong. Aku segera mempercepat langkah agar lekas sampai di asrama putri, tapi sayup-sayup kudengar rintihan suara perempuan yang terengah-engah dari tengah-tengah ladang. Sejujurnya aku benar-benar trauma terlibat dalam masalah lagi, tapi suara itu lama-lama melemah. Seperti orang hampir mati. Walau ragu terpaksa juga kutelusuri sumber suara itu sampai kulihat dari jauh santriwati yang tadinya dibuat planga-plongo sedang dikubur hidup-hidup oleh Tamima dan seorang santriwati pucat lainnya!
Saat itu aku benar-benar tak tahu harus apa, aku takut menimbulkan suara, bahkan tetes keringatku yang hampir jatuh dari atas bibir terpaksa kujilat juga saking takutnya. Tapi walau bagaimana pun aku harus tetap kabur dari situasi ini. Pelan-pelan aku mencoba berjalan mundur, tapi tanpa kuduga baru sekali melangkah, suara Tamima mengagetkanku.
"Mau kemana? Sini!"
Aku yang ketakutan lebih memilih melanjutkan rencana pelarian daripada harus menuruti perkataannya. Namun kedua kakiku malah berlari mundur ke belakang, sampai tepat dimana Tamima sekarang sedang berdiri.
"Kalau sudah saya bilang ke sini, artinya ya ke sini, bukan malah ke sana," kata Tamima.
Aku hanya bisa menunduk, sembari berpikir keras tentang apa yang selanjutnya harus kulakukan. Apa aku pura-pura pingsan saja biar mereka melepaskanku?
"Jangan, Tsamara!" seru Tamima tiba-tiba.
Dari belakangku ternyata si pucat yang kedua telah bersiap-siap ingin memukul kepalaku dengan sebuah cangkul.
"Maaf," ujar santriwati berkulit pucat itu sambil menurunkan cangkulnya ke tanah. "Saya kira dia ...."
Tamima menggeleng. "Kasih cangkulnya ke dia," ucapnya pada si kulit pucat kedua yang ternyata bernamaTsamara.
"Ambil," perintahnya padaku."
"Buat a-apa?"
"Lanjutkan," tegasnya.
"Di-dikubur?" tanyaku lagi memastikan.
Ia mengangguk.
"Dia sudah lumpuh dan tidak bisa bicara, seperti orang keterbelakangan mental, bisa merepotkan pesantren." Tamima menjelaskan alasannya tanpa diminta. Ia melihatku mengambil tanah dan dan melemparnya ke wajah santriwati tadi sampai tertutup.
Tapi tetap saja itu namanya membunuh, pikirku. Tanganku masih gemetaran sambil sesekali mencuri pandang ke arah dua orang kriminal itu.
"Kenapa tidak dipulangkan saja pada orang tuanya?" tanyaku hati-hati.
"Semua santriwati di sini sudah tidak ada yang punya orang tua. Mereka hidup dan mati di sini. Kamu juga nanti kayak gitu."
"Tapi saya masih punya orang tua, mereka nanti juga bakal datang jemput saya pulang," sanggahku tak terima.
Tsamara memandangi Tamima dengan mata separuh melotot seperti memberi peringatan.
"Belum waktunya," ujar Tsamara.
"Ya sudah baiklah, yok balek kamar, saya ngantuk," ajak Tamima dengan entengnya. Ia seperti baru saja mengubur seekor kucing, bukannya manusia.
Tamima dan Tsamara melenggang pergi begitu saja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Aku harus melaporkannya pada Umi Fatonah, pikirku. Masa selama ini tidak ada yang tahu ladang jagung yang luas itu dijadikan kuburan para korban bully oleh mereka berdua? Jika besok-besok mereka belum ditangkap bisa-bisa ladang jagung itu akan berubah menjadi kuburan massal. Sebab yang kulihat mereka bisa dengan sesuka hatinya membunuh siapa pun yang tidak mereka sukai.
Korbannya juga bisa lebih bervariasi, bisa jadi besok Basimah, bisa Umi Fatonah, atau bahkan Bu Nyai sendiri. Hal yang begitu berbahaya seperti ini harus diberitahu ke semua orang. Supaya mereka bisa lebih waspada dan menjaga diri dari Tamima dan Tsamara. Atau bahkan sepakat beramai-ramai mengurung kedua psikopat itu di ruang bawah tanah. Lagipula daripada mereka berdua, aku jauh lebih takut pada Umi Fatonah dan Bu Nyai.
Sekarang bukannya memilih kembali ke kamar Maimunah, aku malah putar arah menuju ruangan Bu Nyai. Beliau pasti bijaksana ketika mendengarkan laporanku nanti. Ia perempuan tua bersahaja yang tegas dan berwibawa. Bu Nyai tentunya juga pasti anti kekerasan dan pembullyan. Sosok panutan seperti Bu Nyai tak akan menganggapku berbohong nantinya kan? tanyaku meyakinkan diri sendiri. Lagipun jika Bu Nyai tak percaya aku punya bukti mayat yang dikubur di ladang jagung. Tidak mungkim nantinya mayat itu bisa tiba-tiba menghilang kan? Aku terus melanjutkan langkah dengan tergesa supaya lebih cepat memberitahu kasus ini.
Namun sesampainya di depan pintu, aku mendengar lebih dari satu suara yang bersenda-gurau di dalamnya. Karena penasaran aku pun mengintip dari lubang kunci pintu ruangan Bu Nyai. Aku bahkan hampir bersuara melihat Tamima dan Tsamara ternyata sudah ada di sana!
Bu Nyai juga tampak sangat sayang pada keduanya. Tak pernah kulihat senyum Bu Nyai bisa begitu lebar hingga tampak gigi geraham belakangnya yang bolong. Agak lama mengintip dengan penuh tanda tanya, kepala Tsamara tiba-tiba menoleh ke belakang. Ia menatap ke arah pintu. Tidak, lebih tepatnya ke arah lubang kunci. Ke arah mataku. Kami sempat bertatapan selama beberapa detik sebelumnya akhirnya ia berbisik ke telinga Tamima dan kedua psikopat pucat itu berpamitan sembari mencium tangan Bu Nyai.
Mereka sudah hampir membuka pintu dan aku tak tahu harus lari kemana. Saat ingin berlari tiba-tiba pintu sudah dibuka. Tamima keheranan melihatku ada di sana.
"Mau ngadu ya?" ejeknya sambil tersenyum.
"Nggak, saya mau minta baju seragam sama Bu Nyai." Untung saja aku masih punya alasan yang tepat agar tidak terlalu dicurigai.
Tamima dan Tsamara tanpa sadar masih membiarkan pintu ruangan Bu Nyai setengah terbuka, sehingga ketika Umi Fatonah hendak menutupnya kembali, ia mendengar percakapan kami.
"Kamu baru mau minta seragam siang ini? Padahal kelas sudah mulai dari pagi lo! Kemana aja dari tadi?" bentak Umi Fatonah yang begitu keluar langsung berkacak pinggang.
"I-iya, maaf, saya ketiduran Umi," ucapku berbohong.
"Ini, ini dia penyakit setiap santriwati baru, emang kamu nggak diajarin Basimah apa?"
"Sudah Umi, sudah diajarin."
"Tapi kamu pasti ndak mau nurut ya? Kamu itu pembangkang sekali ya, pantes dititipin di sini sama mamamu. Hmm ... Basimah kayaknya masih kurang tegas ngajarin kamu. Ya sudah sore ini kamu harus bersihkan kamar mandi sekolah sama yang di dekat ladang sebelum salat magrib."
"Tapi Umi ...." Aku masih ingin mengatakan perbuatan Tamima dan Tsamara di ladang jagung tadi padanya. Namun Umi Fatonah memelototiku.
"Apalagi?"
Aku memperhatikan sekitar, Tamima dan Tsamara masih di sana, duduk di taman sekitar sekolah menunggu apa yang akan kulakukan.
"Nggak, nggak apa-apa Umi. Saya izin ke kamar dulu, assalamualaikum."