Bab 6
Kamar Walihah
"Mulai sekarang kalian pindah ke kamar ini, kamar Walihah," jelas Umi Fatonah.
"Tunggu Umi, sa-saya juga ikut?" tanya Layyanah tak percaya.
"Buat apa saya bawa kamu ke sini kalau kamu ndak terlibat?"
"Tapi Umi saya cuma ikut-ikutan, saya ndak tahu kalau Athirah itu ternyata tukang bohong dan tukang fitnah."
"Denger ya Nur Afifah Layyanah, kamu pikir saya ndak ingat waktu kamu ngejer-ngejer saya pakai parang semalam? Kamu masih ngerasa ndak bersalah? Otak kamu lari kemana toh, hah? Masih di kepala ndak, hah? Atau sudah pindah ke dengkul, hah?"
Layyanah diam saja habis di 'hah' 'hah' kan Umi, entah karena disemprot bebauan karang gigi, entah karena tak bisa berkata apa-apa. Ia tampak syok dengan tubuh yang bergetar. Air mata pun mulai bertumpuk di sudut-sudut matanya. Ia terus melirik tajam ke arahku, seolah ingin mencincangku jadi lauk makan siang hari ini.
Dari raut wajahnya yang semasam mangga mentah, aku tahu dia masih menyimpan bara di dadanya, yang sewaktu-waktu bisa dilemparkan padaku. Tinggal menunggu waktu. Wajar saja dia marah, kalau aku jadi dia juga pasti akan menyelamatkan diriku sendiri. Seperti yang dikatakannya pada Umi Fatonah.
Tak berapa lama muncul tiga orang santriwati berjilbab putih kusam di depan pintu. Mereka tampak kelelahan. Bibir mereka kering dan kantong mata mereka hitam. Anak-anak rambut berkeluaran dari kerudung mereka yang basah oleh keringat. Saat mereka bergerak memasuki kamar, angin dari luar meniup-niupkan hawa ketiak basah.
Mulut Layyanah terlihat menggembung seperti memahan muntah. Sementara Gami dan Basimah terang-terangan menutup hidung saat mereka lewat.
"Kalian tolong ajarin mereka ini tugas-tugas santriwati kamar Walihah! Kalau ada yang membangkang laporkan langsung sama saya!" perintah Umi Fatonah marah sembari berlalu meninggalkan kamar Walihah.
"Baik Umi," jawab mereka serempak.
Mereka duduk di ranjang masing-masing, lalu menenggak seliter air minum sambil memperhatikan kami. Ranjang di kamar Walihah hanya ada tiga dan tidak bertingkat. Aku yakin sekali malam ini kami akan tidur di lantai.
"Ngapain berdiri-berdiri di situ? Ayo siap-siap, habis istirahat nanti kamu ikut saya ke samping kamar mandi dekat ladang jagung," ujar salah satu dari santriwati kamar Walihah ketus pada Layyanah.
"Mengapa saya harus mau?" bantah Layyanah tak terima.
"Karena kamu ada di kamar Walihah!"
"Memangnya kenapa kalau di kamar Walihah, kamu bisa ngatur-ngatur saya gitu?" Layyanah semakin tak terima.
"Kamu tau ndak sih artinya kamar Walihah?" Santriwati berjilbab putih kusam tadi langsung berdiri dari ranjangnya menghampiri Layyanah seakan ingin menantang.
"Ndak tau dan ndak mau tau. Saya juga ndak suka tinggal di kamar ini!" Layyanah memekik histeris.
"Ini kamarnya para babu!" teriak santriwati tadi tak mau kalah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Layyanah. "Di sini tugasnya nyapu, ngepel, nyuci, masak gratisan, terus digaji sama pahala doang! Ngerti ora!" tanyanya sambil mengangkat dagu Layyanah.
"Ndak, ndak mau, pokoknya saya ndak mau!"
"Ngerti ora!" teriaknya lagi di depan wajah Layyanah.
Namun Layyanah masih terus menggeleng dan juga berteriak,"Ndak! Ndak mau!" sambil menutup rapat kupingnya.
Santriwati tadi jadi hilang kesabaran dan ingin menampar Layyanah, tapi melihat Layyanah yang terpojok, Gami dan Basimah pun turun tangan. Mereka menghalangi santriwati tadi dengan menangkap tangan kurusnya.
"Maksudmu apa sih kok main kasar gitu?" tanya Basimah.
"Iya bener, asal main tangan aja, jangan-jangan kamu mantan gerombolan begal ya?" sindir Gami.
"Emang bener-bener ya kalian semua ini mesti dikasih pelajaran!" Santriwati itu mulai menggulung lengan bajunya dan bermaksud melawan mereka bertiga. Namun salah satu teman mereka yang berada di atas ranjang langsung turun untuk menengahi.
"Udah Nur, udah, biar saya yang jelasin, mereka ini kan 'baru', masih ndak tau apa-apa," ujarnya.
"Temenmu itu ajarin ya buat terima nasib! Jangan asal ndak mau ndak mau, kalau sudah sampai di kamar ini ya harus mau kerja! Kita juga ndak mau capek sendiri!" gerutu Nur kesal.
"Kalian semua denger ya, setiap kamar di pesantren ini dinamai dengan nama istri dari para Nabi, termasuk Walihah. Tapi tau ndak Walihah itu istri Nabi siapa?"
"Nabi Luth?" jawab Basimah.
"Bener. Walihah itu terkenal sebagai istri yang durhaka, pengkhianat suami dan pendukung kaum sodom. Dia itu seburuk-buruknya istri Nabi. Sama kayak kamar ini, kamarnya para santriwati 'buangan'."
"Maksudnya?" Gami mengerutkan keningnya karena tak paham.
"Kita semua di sini karena dianggap jadi santriwati paling buruk, pembangkang dan paling melawan peraturan pesantren!" sambung Nur masih dengan intonasi yang setinggi gedung Burj Al-Khalifah.
"Saya masuk ke sini gara-gara ndak sengaja ngelirik kupu-kupu yang berhenti di pundak anaknya Bu Nyai. Tapi Habibah ndak suka ngeliatnya. Dia pikir saya jelalatan mengincar calon suaminya. Nur masuk ke sini habis ngerangkul Tamima karena ndak sengaja juga, habisnya dikira temennya dari belakang. Tamima benci dimirip-miripin sama orang lain. Dia ngerasa terhina, katanya ndak pantes, ndak level. Kalo Wati dituduh nyolong tempe sama tahu dari talam santriwati lain, padahal dia dijebak sama temen-temen kamarnya sendiri. Mereka ndak suka satu talam sama dia. Ndak ada yang suka, karena badannya gembrot, takut porsi makannya terlalu banyak, jadi mereka bisa kelaparan."
"Cuma gara-gara itu?" tanyaku.
"Kamu tahu sendiri Aimra'at Alshajara itu. Para calon menantu Bu Nyai bebas menindas santriwati-santriwati lain sesukanya tanpa bisa ngebantah. Tiga saja sudah bikin susah, apalagi nanti bakal tambah satu lagi."