Bab 7
Calon Mantu Keempat
Aku tengah berlari dikejar entah siapa di dalam sebuah hutan belantara. Aku benar-benar letih, otot-ototku rasanya sudah hampir kendur sebab tak sadar entah sudah berapa lama aku berlari. Saat sedang berlari, di sampingku juga mengalir anak sungai. Ingin sekali kubasuh bibirku yang sudah sekering jemuran di bawah terik matahari. Namun begitu aku berhenti sebentar, sosok yang mengejarku dari belakang itu seolah ingin melompat dan menerkamku. Mau tak mau aku terpaksa harus terus berlari sampai aku menemui jalan buntu. Di depan mataku sudah menganga sebuah jurang yang sangat gelap.
Sosok yang mengejarku tadi pun berhenti. Perlahan ia berubah wujud menjadi seseorang yang kukenal, yaitu Bu Nyai! Ia mengulurkan kedua tangannya seolah ingin merangkulku. Mimik wajahnya juga tampak memancarkan kesedihan yang aku tidak tahu karena apa.
"Jangan ke sana Ndok! Ayo balek ke pesantren sama ibu sampai nanti dijemput ibu bapakmu," ajaknya dengan suara yang sangat lembut. Bahkan terdengar seperti memohon.
Aku bergerak ke arah Bu Nyai, tapi sesuatu menarik kakiku hingga terjatuh ke dalam jurang. Dari dasar jurang itu aku bisa mendengar suara yang begitu memekakkan telinga.
"Bangun! Athirah bangun! Ya ampun astaghfirullah! Dari subuh kamu tidur tapi belum bangun juga sampai jam dua belas siang! Kamu ini perempuan apa, hah? Perempuan jadi-jadian? Mana ada sejarahnya perempuan bangun jam segini!" umpat Umi Fatonah.
Ranjang tidurku basah. Umi Fatonah barusan menyiramku dengan seember air. Begitu kulihat letak posisi ranjang yang paling dekat dengan pintu, aku baru sadar jika yang kutiduri adalah ranjang milik Nur.
"Athirah ndak tidur Umi, tapi pingsan," jelas Basimah yang baru datang ke kamar bersama yang lainnya.
"Halah kalian berdua ini kan sekongkol pernah mau bunuh saya di ladang jagung, ndak usah ditutup-tutupin borok temenmu ini. Tobat cepat tobat, kayak temenmu yang satu itu tuh, Layyanah, Umi lebih percaya sama dia daripada kalian semua!"
Semua mata kini tertuju pada Layyanah. Semua yakin jika dialah yang mengadukanku pada Umi Fatonah.
"Athirah, ingat ya, sekali lagi kamu kedapatan tidur sama ndak mengerjakan tugas kamar Walihah, kamu bakal saya laporin sama Bu Nyai!" Mata Umi Fatonah mendelik-delik tak keruan.
"Baik Umi," jawabku seraya meraih tangannya untuk disalim.
Begitu Umi pergi, Basimah dan Gami pun langsung melempari Layyanah dengan berbagai macam peluru pertanyaan.
"Tega bener kamu ya Layyanah, kok bisa-bisanya mengkhianati temen sendiri," ujar Gami.
"Emang kapan kami berteman?" balasnya angkuh.
"Nih aku ingetin, sejak kamu nanya-nanya hal yang gak penting di kantin asrama waktu itu."
"Ndak semua yang aku ajak ngomong itu berarti temenku, apalagi yang nularin banyak mudharat, kayak dia. Harusnya kalian belain saya bukan dia, kan saya yang temenan sama kalian lebih lama." Layyanah tampak berusaha membawa Gami dan Basimah di kubunya.
"Tapi Athirah ndak salah, kejadian di ladang jagung waktu itu ... pasti ada yang udah mindahin mayatnya," bela Basimah.
"Mau sampai kapan sih kamu ridho jadi kelinci percobaannya Athirah?" Layyanah mulai memprovokasi. "Kuliat-liat sekarang kamu nurut-nurut aja sama dia, disuruh A mau, disuruh B mau, kamu ini kan dulunya ketua kamar Maimunah. Kok bisa-bisanya mau jadi pembantu santriwati yang baru masuk itu. Dimana harga dirimu?" ejek Layyanah lagi.
"Layyanah!" bentak Gami.
"Kamu juga Gami. Bisa ndak muka kamu itu dikurangin satu? Soalnya tebel banget sampe ada dua. Aku tahu kamu nyesel dimasukin ke sini kan, kamu jadi ndak bisa masuk kelas pelajaran bahasa arabnya Ustadz Fahmi. Kenapa sih harus ditutup-tutupin? Malah pura-pura ngebela Athirah sekarang. Munafik." Layyanah menjulurkan lidahnya tepat di depan Gami.
"Layyanah kamu pasti masih ndak bisa terima sama keputusan Umi. Saya sadar ini semua gara-gara saya. Saya minta maaf ya," ujarku tulus dari hati.
Semua tampak sedang menanti reaksinya. Tapi dia malah melengos buang muka dan pergi begitu saja seolah tuli jika aku tadi sedang bicara padanya. Aku ingin menghampirinya lagi tapi Basimah menghalangiku.
"Udah, biarin, kamu istirahat saja lagi, biar saya sama Wulan yang menyiapkan makan siang para santriwati. Tadi pagi kami liat kamu pingsan di halaman masjid. Kok bisa?"
"Saya baru ingat ...." Aku mengingat kembali cahaya bulan bulat waktu itu. Wajah para santriwati bermata putih dengan mulut berbusa, tangan berdarah dan usus yang terburai ... lebih kurang sama seperti wajah cat temboknya Basimah dan kepala Wulan yang terpotong setengah. Tapi mereka sama sekali tidak merasakan apapun.
"Saya tidak ingat kenapa," sambungku lagi. Aku tak menceritakan apa yang kulihat semalam pada Basimah dan juga Wulan, sebab aku masih tak tahu apa kaitannya perubahan wajah mereka dengan cahaya bulan. Aku takut, aku tak percaya siapa pun.
"Ya udah, sekarang udah jam makan siang, lebih baik kita isi perut dulu. Banyak kerjaan yang menanti habis ini," ajak Wulan.
Aku mengangguk sambil menelan ludah.
***
Di kantin sudah banyak santriwati berkumpul berempat-empat untuk makan dalam satu talam. Sekarang giliranku yang mengantri mengambil talam untuk makan. Saat hendak menghampiri Basimah, Wulan dan Gami, seseorang menjegal kakiku dari samping hingga aku terjatuh tersungkur ke depan.
"Astaga talamnya!" pekikku.
Perutku terasa basah dan hangat. Tampak beberapa potongan kacang panjang dan kuah bening berserakan di atas lantai. Semua isi talam yang kubawa kini berpindah ke atas lantai. Semua mata kini berpindah memelototiku. Aku segera mengumpulkan kembali isi talam yang tumpah ke atas talam, namun suara seseorang menghentikanku.
"Jangan dipindah! Makan disitu saja!" perintahnya.
Aku menoleh pada wajah bulat telur dengan tahi lalat di bawah dagunya itu. Habibah! Apa jangan-jangan tadi ulahnya yang sengaja menjegal kakiku? Aku tak habis pikir, mau apalagi dia sekarang. Aku memutuskan untuk menghiraukannya saja dan kembali mengutip sisa-sisa butir nasi di atas lantai tadi.
"Kamu ini udah tuli ya!" bentaknya. "Saya bilang makan dari lantai saja!" geramnya lagi.
"Kamu buta ya? Ini kan sudah kotor, ndak layak dimakan lagi," bantahku.
Mendengar ucapanku barusan Habibah semakin darah tinggi. Ia meludah di atas nasi dan sayur-mayur kami yang tumpah di atas lantai.
"Itu baru namanya kotor, bodoh!" umpatnya lagi. "Makan itu atau ndak makan sama sekali," ujarnya sembari berangsur pergi dengan gaya angkuhnya.
Aku ingin sekali menjambak kerudungnya dan mengusap-ngusap wajah bulat telurnya itu ke atas ludahnya sendiri, tapi aku hanya bisa diam memendam rasa kesal yang menggunung serta lapar yang tak tertahankan.
Gaya langitnya itu membuatku ingat kejadian dimana dia dan ibunya diusir dari rumahku dulu. Ibunya dulu bekerja sebagai tukang cuci baju tetangga dan tukang cuci piring di kantin sekolah. Karena pendapatan yang masih kurang, sesekali ia juga menyambi mencuci baju di rumahku. Nurul Habibah sering membantu ibunya juga. Rumah kami pun berada di satu lokasi yang sama, karena itu dia sering terlihat ingin selalu menempel padaku, seperti lintah. Aku yang risih selalu diikutinya sering kali bersikap kasar dan ketus padanya. Aku bahkan sering mengatainya sewaktu mama ingin menunggunya pulang sekolah agar kami bisa pulang bersama naik mobil.
"Ngapain sih nungguin anak tukang cuci. Emang dia bosnya, harus kali gitu ditunggu-tunggu?" gerutuku pada mama saat itu.
"Sampai rumah kan kamu nggak ngapa-ngapain, lagian dia itu orang susah, mamanya jauh-jauh dari kampung ngerantau buat bisa makan. Kita cuma nunggu 5 menit aja apa susahnya sih?" Mama betul-betul membelanya saat itu.
"Ngapain jauh-jauh ke kota, kalau cuma buat makan doang kan di kampung banyak tumbuh-tumbuhan, biasanya orang kampung kan suka makan lalapan mentah,"protesku pada mama.
Mendengar itu mama biasanya hanya geleng-geleng kepala saja.