Selasa Pukul 03.00

Anggi Gayatri Purba
Chapter #8

Anak Laki-Laki Bu Nyai

Bab 8

Anak Laki-Laki Bu Nyai


   Pukul 02.00 dini hari aku terbangun karena udara dingin berhasil menembus ventilasi yang terlalu lebar tanpa jaring di kamar Walihah. Dalam keremangan kamar, aku melihat seluruh ranjang sudah kosong. Di sebelahku Basimah dan Layyanah juga lenyap entah kemana. Bukankah masih sangat pagi untuk salat tahajud? Pikirku. 

   Aku tak bisa tidur lagi. Pikiranku seperti nasi campur yang dibolak-balik. Belum memikirkan keselamatan Gami, pertengkaranku dengan Layyanah, pembalasan untuk Habibah, dan jalan keluar dari pesantren ini.

   Selama hampir satu jam menunggu, Basimah, Layyanah, Nur dan Wati masih belum kembali juga. Padahal sudah hampir waktunya salat tahajud. Apa dari tadi mereka sudah langsung ke masjid? Pikirku. Kenapa mereka suka sekali meninggalkanku sendirian? Apa ada yang mereka sembunyikan dariku?

   Karena penasaran, apalagi sudah mendekati waktu salat tahajud, aku pun siap-siap ke masjid, siapa tahu berjumpa dengan mereka di sana. Begitu keluar kamar, bulan tak lagi seterang malam-malam sebelumnya. Aku jadi agak ragu ke masjid sendirian. Tapi daripada nanti kena siram lagi sama Umi Fatonah, lebih baik aku sedikit saja mengikuti peraturan di pesantren ini.

   Ketika melewati ladang jagung, seperti biasa, aku mendengar suara-suara yang tak seharusnya kudengar. Kali aku menahan hati untuk tidak penasaran jika tidak ingin melihat yang tidak-tidak di ladang jagung nanti.

   Setelah sampai di kamar mandi ladang jagung, aku melihat seorang laki- laki bertubuh tinggi dan beralis tebal yang sedang menyapu di pekarangan masjid. Aku masih tak percaya jika ada laki-laki yang dipekerjakan di pesantren khusus putri ini. Sehabis menyapu, ia kemudian memanjat pohon mangga yang ada di tengah-tengah masjid lalu memetik buahnya yang belum matang.

   "Eh kamu mau nyolong ya!" semprotku saat itu.

   "Nyolong? Ini kan punya saya," jawabnya santai.

   "Udah nyolong, belagu, ngambil yang masih mentah pula, jadinya kan mubazir dibuang-buang, Nur sama Layyanah juga bakal marah ngeliat kamu nyerakin halaman begini!" 

   "Apanya yang mubazir, enak kok, mau?" Tangan kekarnya menyodorkan buah asam itu ke depan mulutku.

   "Kamu pikir saya lagi ngidam, ditawarin mangga muda?" kataku jengkel.

   "Ya sudah kalau ndak mau." Ia masih menggigit mangga mentah tanpa dikupas itu dengan rakus, lalu melempar bijinya yang mendarat tepat di wajahku.

   "Apasih sesama babu pesantren kok gitu!" bentakku. Aku balas melempar kepalanya dengan sapu lidi sampai kopiahnya jatuh ke tanah.

   Laki-laki itu menoleh ke belakang. Ia tersenyum tipis sambil mengucapkan,"Kamu, saya mau kamu jadi istri saya."

   "Apa sih laki-laki nggak jelas!" teriakku. 

   Gara-gara menghampiri laki-laki yang kurasa tugasnya sebagai marbot masjid tadi, aku jadi lupa mengambil wudhu. Aku pun kembali ke kamar mandi di samping ladang jagung. Namun tiba di sana aku langsung merasa seperti disambar petir saat melihat seluruh santriwati sedang berkumpul melingkar mengelilingi Bu Nyai, seolah sedang menyembah berhala. Lagi-lagi aku melihat mereka dalam versi wajah halloween.

Lihat selengkapnya