Selena dengan sangat gelisah duduk bersama adik bungsu laki-lakinya; Gibran di teras rumah. Dia sudah berada di sana sedari tadi menunggu kepulangan ibunya yang tadi pagi pergi ke kota bersama dengan Andre.
Gibran, seorang bayi laki-laki yang masih berusia dua tahun, dengan sangat patuh duduk di pangkuan Selena, mata bulat nan jernih bayi menggemaskan itu menatap penasaran pada kakak perempuannya tersebut.
Selena yang matanya sedikit sembab karena menangis semalaman, menunduk, mencium dahi Gibran penuh kasih sayang.
Dagunya dia letakkan di atas kepala kecil Gibran yang polos. Selena sangat cemas memikirkan keadaan keluarganya yang kini di timpa musibah besar.
Seandainya saja dia bisa membantu. Pastilah Selena bersedia memberikan apapun agar supaya keluarganya terlihat terus bahagia, tanpa keresahan seperti ini. Namun Selena menyadari kelemahannya sekarang.
Lagi pula apa yang bisa di perbuat oleh seorang siswa sepertinya yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas?
Tak ada.
Tak ada yang bisa Selena perbuat, selain hanya mendoakan keluarganya agar senantiasa baik-baik saja.
Sore ini Selena berdua saja dengan adik bungsunya; Gibran di rumah. Sedangkan Marco; adik laki-laki keduanya pergi membantu sang nenek, yang berada di desa sebelah. Hanya beberapa menit saja jika naik sepeda untuk sampai ke tempat neneknya tinggal.
Sudah sedari kecil Marco diasuh dan tinggal bersama kakek dan neneknya yang notabene orang tua kandung Lyana. Setelah kematian kakeknya, Marco-lah yang bertanggung jawab mengurus kesehatan Lina yang semakin hari kian memburuk. Adiknya itu tidak mau tinggal bersama kedua orang tuanya meski Rayhan meminta sendiri supaya putra mereka pindah saja ke rumah ini.
Namun Marco menolak usulan itu dengan halus.
Meski Marco masih berusia tiga belas tahun, tetapi adiknya itu sudah mengemban tugas mengurusi ladang-ladang yang sekarang ditanami jagung warisan dari sang kakek.
Kadang-kadang Selena akan datang membantu jika di rumah dia tidak memiliki pekerjaan.