Pak Adnan memegang pelajaran Bahasa Indonesia di beberapa kelas. Pak Adnan mengajar anak didiknya dengan santai. Ia tak suka membuat anak-anaknya merasa tertekan dengan pelajaran yang ia berikan. Banyak anak-anak yang menyukai gaya belajar Pak Adnan yang terkesan seperti mengobrol. Walau Pak Adnan seorang guru senior, tapi gaya mengajarnya tak kalah menarik dengan guru muda yang masih fresh graduate. Ia tak mau kalah jika soal profesionalisme.
Setelah selesai, ia kembali ke kantor. Suasananya terdengar sedikit riuh dengan ocehan para guru yang asik mengobrol di jam istirahat ini.
"Innalillahi."
Terdengar di telinga Pak Adnan suara lirih dari Bu Ratih, wali kelas XII yang sedang menelpon.
"Kenapa Bu?" tanya Pak Adnan setelah Bu Ratih selesai dengan panggilannya.
"Cindy, Pak, anak murid saya ... meninggal."
"Inalillahi."
Beberapa guru ikut beristirja mendengar kabar dari Bu Ratih.
"Memang sudah seminggu ga masuk kelas. Saya tanya temannya, ada yang bilang dia kabur dari rumah," papar Bu Ratih. "Saya coba komunikasi sama orang tuanya, tapi mereka justru melarang saya ikut campur. Sepertinya ada masalah dari luar," lanjut Bu Ratih curiga akan satu hal.
"Jadi, siapa saja yang mau ikut takziyah?" tanya Bu Ratmi, rekan kerja Pak Adnan yang lain.
Pak Adnan dan Pak Yusuf menawarkan diri untuk ikut dan memberikan tumpangan pada teman-temannya.
Sesampainya di sana, haru biru mengisi atmosfer ruangan. Terlihat ibunya sangat terpukul dengan kepergian sang anak. Para guru yang datang langsung menemui ayahnya yang terlihat lebih tegar. Mereka mengucapkan bela sungkawa pada keluarga.
Di tengah tengah obrolan Bu Ratih dengan pihak keluarga, Pak Adnan mendengar kalimat yang membuatnya tersentak.
"Dia ditemukan sudah meninggal di kamarnya, ada cairan serangga juga di sana. Dia ... itu Bu, " kata salah seorang anggota keluarganya agak ragu memperagakan gerakan melengkung di depan perutnya. Jelas mereka mengerti maksudnya. "Pacarnya ga mau tanggung jawab."
Pak Adnan ingat pernah melihat Cindy yang diantar pacarnya kesekolah, bisa dengan santai bermesraan di depan teman- temannya. Cium pipi sebelum pacarnya pergi seperti hal biasa bagi mereka. Tidak dipungkiri, pacar Cindy terlihat good looking dengan tongkrongan motor metik besar keluaran baru.
Benak Pak Adnan langsung mengingat Adrian dengan jenis motor yang sama, hanya beda merk.
Di perjalanan pulang, mereka masih tak percaya anak muridnya ada yang meninggal dengan tragis seperti itu.
"Kalau lihat gaya pacarannya, ya agak meresahkan, ya," celetuk Bu Ratmi memecah kesunyian di mobil. "Saya pernah lihat dia diantar sama pacarnya. Langsung cium pipi aja gitu, ga ada canggung-canggungnya."
Yang lain hanya diam tak merespon ocehan Bu Ratmi. Walau hanya diam, sebenarnya Pak Adnan terbawa suasana, hatinya gelisah mengingat putrinya yang setiap hari bertemu Adrian. Ditambah kenapa pacarnya Cindy harus punya motor setipe dengan Adrian. Walau tak ada sangkut pautnya, poin secuil itu pun menambah keresahan Pak Adnan. Bahkan keresahanya terus berlangsung sampai ke rumah.
===
Sore hari, Pak Adnan sengaja menunggu di teras rumah bertemankan teh hangatnya. Saat mendengar suara motor yang membuatnya gelisah seharian terhenti di depan rumahnya, Pak Adnan berdiri dan memperhatikan putrinya yang terlihat jelas, karena Pak Adnan sengaja membuka sedikit pintu gerbangnya.
"Makasih ya," ujar Aruna sesaat setelah turun dari motor metik besar milik Adrian. Kemudian melayangkan kecupan di pipi Adrian.
Pak Adnan yang tersentak. Spontan berdehem keras, membuat keduanya ikut kaget dan malu. Adrian hanya melempar senyum pada Pak Adnan kemudian pamit pulang dengan perasaan canggung.
"Apa, sih Pak ?" gerutu Aruna yang tak enak hati pada Adrian.
"Kamu ga malu, cium-cium pipi gitu di depan rumah?"