Disekolah, Pak Adnan tak bisa selalu mengembangkan senyum pada semua orang, sedangkan dalam hatinya ada kecemasan menyelubungi. Di sela-sela kesendiriannya di kantor, ia menekuk wajah dengan persoalan yang sama, yang berputar-putar di kepalanya.
"Sedang memikirkan apa, Pak Adnan?" tanya Pak Yusuf yang masih di bingkai pintu namun sudah melihat jelas raut Pak Adnan yang murung.
Melihat wajah Pak Yusuf, terbesit keinginan Pak Adnan untuk bercerita. Selama ini, Pak Yusuf adalah satu-satunya teman curhat Pak Adnan yang dapat ia percaya.
"Yusuf, menurut kamu bagaimana kalau orang tua meminta anaknya untuk segera menikah?"
Mode bicara mereka otomatis lebih santai jika tak ada guru lain.
"Ya, bagus," jawab Pak Yusuf seraya duduk bersebelahan dengan Pak Adnan. "Kamu nyuruh Aruna segera menikah?"
Pak Yusuf langsung tahu inti masalah sahabatnya itu. Pak Adnan tak bisa mengelak. Tepat tak keliru sedikit pun.
"Ya, kalau sudah ada calonnya ga apa-apa. Kalau belum ada, saya punya anak bujang yang siap menikah," celetuk Pak Yusuf mempromosikan anaknya. "Tapi kamu tahu, kan, anak saya seperti apa."
Pak Adnan terdiam sejenak. Ia tak sempat mengiyakan tawaran Pak Yusuf. Karena Pak Adnan masih ingat kalau Aruna sudah punya kekasih. Titik masalahnya saat ini bukanlah siapa jodoh untuk Aruna. Tapi, siapkah Adrian meminang putrinya dalam waktu dekat.
"Sudah ada ?" Pak Yusuf meyakinkan.
Pak Adnan masih terdiam.
"Aruna sudah ada kenalan yang dibawa kerumah. Tapi saya ga melihat tanda-tanda mereka akan serius. Saya khawatir."
Pak Adnan merasa tak perlu menceritakan kalau putrinya sudah berpacaran lama dengan kekasihnya.
"Ya, namanya juga anak muda. Biarkanlah mereka kenalan dulu. Kecuali Aruna siap ta'aruf."