Afzan menatap Aruna dengan alis berkerut, wajahnya heran bukan main dengan pertanyaan Aruna.
Sementara setelah pertemuannya dengan Afzan tadi siang, otaknya terus membisikkan kata perjodohan. Ia merangkai pertemuan pertama di rumah. Seakan Afzan datang memang karena perjodohan itu. Pertemuan kedua dan ketiga, momennya sangat pas, seakan diatur sedemikian rupa agar Afzan datang sebagai pahlawan saat Aruna sedang bimbang.
Di tambah permintaan bapaknya yang ingin ia segera menikah. Bukankah itu cukup menjadi bukti kalau mereka akan di jodohkan? Pikir Aruna.
"Saya memang diminta menjalin silaturahmi dengan Pak Adnan, tapi tidak ada ucapan seperti yang kamu tebak itu."
Aruna menyandarkan kepalanya ke tembok ruangan. Afzan duduk berjarak dengan Aruna yang tampak lesu itu. Ia membiarkan Aruna begitu beberapa menit. Matanya kosong menatap langit-langit Rumah Sakit. Jelas sekali ia sedang memikul masalah berat.
"Seandainya, saya menikah dengan kamu ..." Suara Aruna tertahan sesak di dada, dengan mata terpejam dan kepala tersandar. "Bapak pasti senang. Bapak, ingin saya segera menikah."
Aruna mengucapkan hal tersebut dengan getaran yang terdengar dalam warna suaranya, tanpa menatap Afzan.
"Itu pasti pikiran liar kamu," sanggah Afzan.
"Iya." Aruna bangun dari mata yang terpejam dengan isak yang tertahan. “Lagi-lagi saya terlalu liar berfikir. Kita bahkan baru bertemu tiga kali."
"Sudah sholat magrib?" tanya Afzan tak menggubris ucapan Aruna.
Pertanyaan Afzan membuat Aruna menoleh padanya dengan tatapan sendu. Aruna bahkan tidak mengingat sholat saat musibah menimpanya. Karena memang ia masih belum bisa sholat lima waktu di setiap harinya. Aruna berada di perasaan yang aneh, antara malu dan takjub pada pertanyaan Afzan.
"Kamu sholat saja dulu, saya carikan makanan untuk kalian. Bu Maryam belum makan dari siang, kan ?"
Aruna mengangguk ragu. Ia sedikit bingung dengan perintah Afzan, namun ia seperti terhipnotis menuruti ucapan Afzan. Ia menanggalkan selimut yang masih wangi itu, berjalan perlahan menuju mushola.
Namun baru beberapa langkah, ia kembali pada Afzan.
"Musholanya di mana?"
Afzan menunjukan arah mushola dengan lembut pada Aruna. Setelah yakin mengetahui letak mushola, ia kembali meninggalkan Afzan untuk mengadu pada Sang Kholiq.
Setelah sekian lama, mungkin ini pertama kalinya Aruna memasrahkan masalahnya pada Sang Kholiq. Air wudhu yang dingin membasahi wajah Aruna dengan perasaan sejuk yang sampai ke hati, seakan membuang kepenatan yang sedari tadi menggelayuti tubuhnya.
Kemudian, ia lafadzkan bacaan sholat yang ia hafal sedari kecil namun kali ini ia berusaha menghayati makna yang bisa ia tangkap oleh nalarnya, walau tak semua ayat.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.