Sekitar pukul sepuluh pagi, Pak Yusuf datang sendiri menjenguk sahabatnya itu. Istrinya tak bisa ikut karena menemani sang anak yang masih belum sembuh setelah persalinan beberapa hari yang lalu. Afzan meninggalkan bapaknya bersama Pak Adnan dan Bu Maryam.
Obrolan mereka masih terdengar dari tempat Afzan menunggu. Seperti biasa, Bu Maryam heboh saat mendengar Pak Yusuf bercerita soal cucu barunya. Sementara mereka, bahkan belum punya menantu.
"Saya juga masih punya anak bujang, masih menunggu dia siap menikah."
"Sabar, nanti juga sudah ketemu jodohnya, ya menikah." Pak Adnan mencoba menghibur sahabatnya, padahal ia ada di kondisi yang tak jauh berbeda dengan Pak Yusuf.
"Apa, kita jodohkan saja mereka?"
Pertanyaan Pak Yusuf tak lantas dijawab Pak Adnan. Suami istri itu saling melirik tak bisa memberi jawaban.
"Maaf, maaf, saya jadi ikhtiar di sini," ucap Pak Yusuf mengerti kalau mereka tak enak hati menolak.
"Bukan saya ga mau, Yusuf. Kalau Aruna mau, saya senang bisa dapat mantu seperti Afzan."
Obrolan itu jelas didengar Afzan. Benaknya memutar ingatan, kapan terakhir kali ia bilang mau menikah? Sebenarnya bukan ia tak mau, Afzan hanya takut dengan masa lalu yang bisa saja terulang. Masa lalu yang bisa melukai banyak orang.
Tapi hatinya berat, mendengar betapa orang tuanya ingin ia segera menikah. Bahkan Pak Yusuf sampai berusaha menawarkan perjodohan untuknya. Dulu, ibunya pun pernah melakukan hal serupa. Namun hasilnya nihil. Mereka mundur saat tahu masa lalu Afzan.
Selama ini, Afzan tak pernah mendengar bapaknya menjodohkan dia dengan siapapun. Mungkin, kali ini harapan sang ayah sudah sangat kuat untuk dirinya, sampai-sampai menawarkan perjodohan.