SELEPAS AKAD DENGANMU

Lail Arrubiya
Chapter #15

SAD-15

Aruna tak mengerti mesti berekspresi bagaimana di depan Afzan. Ia merasa mendapat solusi untuk membahagiakan orang tuanya, namun masalah baru untuk asmaranya bersama Adrian. Kepalanya nyaris meledak dengan kerumitan masalah ini. Sejenak, Aruna merebahkan badannya setelah dua hari kemarin tak tidur dengan nyaman di Rumah Sakit. Aruna pulang ke rumah untuk membawa baju ganti dan ponselnya yang sudah tergeletak mati karena tak disentuh olehnya sejak Pak Adnan masuk Rumah Sakit.

Matanya terpejam dan berdoa lirih dalam hatinya bahwa ini hanya bunga tidur yang terasa panjang. Ia ingin kembali pada keadaan semula. Saat belum ada keinginan Pak Adnan agar dia segera menikah. Aruna akan lebih tegas pada Adrian dan tak menunda untuk membicarakan keinginan bapaknya.

Aruna terisak, menyadari ini bukan mimpi. Ini nyata dan ia sudah sepakat untuk menikah dengan Afzan. Mereka akan segera bicara pada orang tuanya untuk berkomitmen pada hubungan yang terikat. Bahkan tadi, ia masih melihat motor Afzan terparkir di depan rumahnya. Belum diambil.

Ponsel Aruna sudah terisi penuh namun ia harus segera kembali ke Rumah Sakit. Banyak pesan bermunculan di aplikasi pesan berwarna hijau. Dari sekian banyak pesan, tak ada nama Adrian di dalamnya. Makin kecewa saja Aruna. 

Aruna segera menemui orang tuanya. Sesampainya di sana, ia mendapati pemandangan yang membuat hatinya mendadak sejuk, mendadak membuat bibirnya tersenyum. Orang tuanya sedang berbincang ringan dengan senda gurau mereka seperti biasa. Aruna memperhatikan senyum bahagia mereka, membayangkan senyum itu terus di sana, tanpa air mata lagi.

"Loh, sini Runa. Kok, bengong di sana." Bu Maryam melambaikan tangan agar Aruna menghampiri mereka.

Aruna ikut duduk di samping Bu Maryam, meletakan tas besar di lantai begitu saja. Kemudian menatap bapaknya yang masih terlihat pucat. 

"Bapak sudah baikan?" Suara Aruna sedikit bergetar menahan tangis. 

Ia tak bisa menutupi sendunya begitu melihat raut wajah bapaknya dengan jelas, tepat di hadapannya. Rasa bersalah dan takut kehilangan muncul bersamaan, menyeruak menjadi tangis pilu yang lemah.

"Kenapa nangis?" Tangan Pak Adnan membelai rambut putrinya yang menenggelamkan wajah di punggung tangan Pak Adnan.

“Maafin Runa. Gara-gara Runa, Bapak jadi sakit." 

Kini isaknya mulai terdengar riuh. Pak Adnan mengangkat wajah Aruna dan menyeka air mata yang sudah berderai bebas di pipi mulusnya.

"Runa ..." ucap Aruna terjeda oleh isak. " Runa udah putus sama Adrian." 

Berat sekali mengucapkan kebohongan demi membahagiakan orang tuanya. Namun, wajah bapak dan ibunya tak lantas berbinar mendengar itu.

"Gara-gara Bapak," celetuk Pak Adnan.

"Bukan, Runa ... jadi tahu kalau Adrian memang ga siap menikah dengan Runa. Bahkan, dia ga ngejar Runa saat Runa pergi." 

“Bapak bukan berharap kalian putus, Bapak hanya ingin kamu dijaga dengan cara yang semestinya."

Aruna mengangguk mengerti maksud Pak Adnan yang kini merasa bersalah. 

"Pak, tolong, lamar Mas Afzan untuk Runa."

Pak Adnan dan Bu Maryam saling menatap dengan mata terbelalak. Seperti mendengar prediksi cuaca akan turun hujan di siang hari yang cerah, mustahil, namun bisa saja terjadi atas kehendak Tuhan.

"Pernikahan bukan untuk main-main, Nak," tanggap Bu Maryam.

"Kami, ga berniat main-main, Bu. Kami, mau pacaran setelah menikah. Cinta, bisa tumbuh seiring kebersamaan kami, kan?" 

"Lalu, Adrian ?" tanya Pak Adnan.

Lihat selengkapnya