Akhir pekan membuat senyum manis di wajah Pak Adnan dan Bu Maryam, saat melihat Afzan menjemput Aruna untuk mencari skincare kesayangan putrinya. Dengan celana high waist dan kaos berwarna beige, serta riasan tipis membuat Aruna terlihat manis namun aura berseri belum nampak dalam wajahnya.
"Kami berangkat, ya Pak, Bu," ucap Afzan sambil menyalami mereka bergantian.
Dengan senyum sumringah, mereka mengantar keduanya sampai ke depan gerbang. Walau tak terlihat harmonis layaknya pasangan yang akan menikah, namun Pak Adnan dan Bu Maryam tetap bahagia melihatnya.
Perjalanan mereka dengan motor Afzan tak dihiasi obrolan. Kemarin, Aruna sudah memberi tahu gerai kosmetik andalannya itu ada di sebuah mall. Jadi Aruna tak mesti menjadi navigasi untuk sampai ke sana.
Aruna segera masuk menuju tempat tujuannya. Afzan mengekor saja di belakangnya. Tak butuh lama, mereka sudah berada di gerai kosmetik. Aruna segera memburu skincare andalannya. Kebetulan sekali, stok di rumah sudah menipis. Dengan santai Aruna mencoba beberapa warna baru untuk lipmatenya.
"Yang ini bagus ga? " Aruna reflek bertanya pada Afzan. Biasanya ia ditemani Adrian jika ke sini. Ia sedikit menyesal bertanya, karena itu mengorek kenangan indah yang kini terasa menyesakkan.
"Bagus," jawab Afzan singkat.
Jawaban Afzan tak jauh berbeda dengan Adrian, yang selalu bilang bagus di setiap ia minta dipilihkan sesuatu. Tapi rasanya berbeda.
Paper bag dengan kosmetik lengkap sudah ditenteng Aruna. Ia merasa haus setelah sedari tadi banyak banyak berkonsultasi dengan konsultan gerai kosmetik.
"Beli minum dulu, ya?"
Tanpa menjawab Afzan mengikuti maunya Aruna. Ia memilih minuman kekinian yang beraneka warna.
"Mas Afzan, mau minum apa ?"
"Teh saja."
Aruna memesankan minuman teh dengan variasi campuran susu. Kemudian duduk untuk menghabiskan minumannya.
"Mau sekalian cari yang lain?"
"Memangnya perlu apa lagi?" Aruna balik bertanya. "Ibu udah handle semuanya."
Afzan tak banyak bicara, ia tahu Aruna tak begitu tertarik menyiapkan semuanya. Afzan memilih segera menghabiskan minumnya agar bisa segera pulang.
"Aruna, setelah menikah ... kamu mau, tinggal di ruko?" Afzan bertanya perlahan, ia khawatir terkesan memaksa.
"Hah? Kita langsung pindah? Saya, belum siap," jawabnya khawatir. "Kalau, untuk sementara tinggal di rumah saya, gimana?"
"Kenapa?"
"Belum siap. Saya terlalu bergantung sama Ibu. Ga bisa jauh."
"Setelah menikah, kamu boleh bergantung pada saya."
Aruna merasa itu sebuah rayuan. Ia memalingkan wajah kemudian kembali menyeruput minumannya dengan cepat.
"Saya butuh waktu. Ga apa-apa, kan?" Aruna sedikit memaksa.
Afzan tak bisa memaksa Aruna tinggal di rukonya yang kecil. Gadis itu terbiasa tidur nyaman di rumahnya. Akan sangat tidak adil jika Afzan langsung membawanya ke ruko setelah menikah.
Tak apa. Aruna bilang, hanya sementara waktu. Afzan bisa menerima itu. Ia tak mempermasalahkannya dan lebih fokus pada kesiapan mentalnya untuk menghadapi akad dan kehidupan setelahnya.