Setelah selesai acara resepsi, pasangan pengantin biasanya berdebar di malam pertama. Berdua dalam satu ruangan dengan orang paling kita ingini kehadirannya. Hiasan dinding dan wangi bunga menambah indahnya debaran di jantung.
Namun, di kamar Aruna yang tak dihiasi bunga dan aroma kamar yang tetap sama, mereka, si pengantin baru duduk bersebrangan di kasur. Bingung hendak bagaimana. Keduanya tak punya acara seperti pengantin kebanyakan. Karena, sudah dipastikan cinta belum hinggap di hati Aruna. Afzan sadar, ia tak mau mendapatkan haknya tanpa cinta dari Aruna.
“Ayo kita tidur," ajak Aruna namun beberapa detik kemudian ia merasa kalimatnya ambigu. Ia khawatir Afzan mengartikan lain. "Maksud saya, kita tidur. Tapi ..."
"Saya mengerti. Saya, pinjam selimut saja."
"Buat apa?"
"Biar saya tidur di lantai."
"Ga usah," sergah Aruna. "Mas Afzan, tidur ... di sini saja. Tapi ... itu," kalimatnya terbata tak tahu mesti bagaimana menjelaskan.
Afzan terlihat menghela nafas, “saya sudah bilang, saya mengerti. Kamu ga usah khawatir."
Pada akhirnya mereka berbaring dengan guling sebagai penghalang diantara keduanya. Mereka berbaring dengan posisi saling membelakangi.
Aruna yang tak biasa dengan orang asing di kamarnya, tak benar-benar bisa terlelap. Matanya terpejam tapi masih bisa merasakan Afzan di belakangnya.
Masa dia bisa tidur secepat itu, sih? Pikir Aruna dalam hatinya.
Aruna benar, bahkan Afzan masih membuka matanya. Ia juga tak bisa tidur dengan suasana baru ini. Afzan memang tak berharap lebih di malam pertamanya, tapi ada kekhawatiran menjalar ketika seharian tadi Aruna tak berbinar dengan pernikahannya.
"Mas Afzan!"
Seruan pelan dari Aruna membuatnya terbelalak tak percaya namanya dipanggil. Ia tak menjawab, karena ia merasa salah dengar.
"Mas !"
Ia mencoba percaya kalau benar Aruna memanggilnya.
"Hmm ..." Hanya sebuah gumaman yang keluar dari mulutnya.
"Belum tidur?"
"Belum. Kenapa?"
"Ga apa-apa. Cepet tidur, besok harus bangun pagi, kan?"
"Iya."