Malam hari, keduanya masih tidur dengan guling sebagai pembatas. Sayangnya, malam ini Aruna benar-benar tak bisa tidur. Bukan karena ada Afzan yang terasa asing baginya, tapi ia sedang merasakan nyeri di kaki yang mungkin membengkak. Luka di tangannya tak membuat posisi tidurnya nyaman. Ia gelisah semalaman.
Afzan menyadari itu dan segera bangun memeriksa. Mata Aruna terpejam namun kerutan di alisnya menandakan ia hanya terpejam tak benar-benar tidur. Sesekali terdengar erangan kecil.
"Aruna." Afzan memeriksa kakinya yang masih lurus seperti tak bergerak leluasa.
“Aruna," sekali lagi Afzan memanggil, kini ia memberanikan diri memegang lengan Aruna yang tak terluka. Panas. Ia pastikan dengan memegang keningnya. Makin panas.
“Runa ... Aruna."
Kali ini Aruna membuka matanya perlahan. Kerut alisnya masih bertengger di sana.
"Minum obatnya," ucap Afzan membantu Aruna bangun.
Dokter sudah bilang kemungkinan akan demam dan nyeri terasa nanti malam. Maka Dokter memberi obat untuk meredakan nyeri dan demamnya.
Aruna berhasil menegak satu tablet obat pereda nyeri. Wajah putihnya terlihat merah, matanya membendung air mata menahan tangis.
“Sakit banget," rintihnya entah menunjuk pada bagian yang mana.
"Sabar, ya. Sekarang kamu tiduran aja."
Ia menggeleng tak mau.
"Tangan aku sakit, kaki juga." Dia merengek seperti anak kecil.
Afzan bingung mesti berbuat apa. Ia bergeser lebih dekat ke sisi Aruna. Membuat tangannya sebagai bantalan Aruna untuk bersandar di dipan kasur. Tangan yang di perban ia angkat agar tertopang tubuhnya.
Aruna yang sedang tak karuan, menerima dada Afzan sebagai sandaran tidurnya. Mencari posisi nyaman agar sedikit mengurangi rasa sakit. Sejalan dengan reaksi obat, Aruna tertidur dan tak mengeluh sakit lagi.
Kini wajah Afzan ikut memerah, tapi bukan karena demam. Jantungnya berdetak tak karuan. Mungkin, jika Aruna bangun ia bisa mendengar jelas ritmenya.
Semalaman, ia tetap begitu tak berubah posisinya. Demi Aruna yang lelap tertidur. Jika Aruna meringis, ia akan bangun sambil mengelus bahu Aruna. Persis seperti ibu yang menemani anaknya tidur.
Saat kumandang Adzan terdengar. Afzan berusaha bangun perlahan, melepas tangan yang semalam jadi bantal Aruna. Tangannya sudah kesemutan tapi tak tega mengganggu Aruna. Tapi kini, ia harus melepas, karena panggilan ilahi adalah kewajiban.
Sayangnya, Aruna harus terbangun tepat saat Afzan berhasil menarik tangannya. Ia terkesiap melihat Afzan di sampingnya dengan baju kusut, semalaman Aruna membenamkan wajahnya di dada Afzan.
Ia mengaduh, terlalu keras bergerak.
"Pelan-pelan."
"Semalam ... aku ngapain?"tanya Aruna enggan menerka, namun benaknya sudah berpikir hal aneh.
"Ngapain? Kamu demam, lantas saya beri obat. Kamu ingat?"
Aruna mengangguk ingat.