Kondisi kaki Aruna sudah membaik, ia merasa harus segera masuk kerja. Baru beberapa minggu yang lalu ia masuk setelah cuti, kemudian harus izin lagi karena kecelakaan. Pekerjaannya pasti menumpuk dan ia tak enak pada yang lain, terutama Kemala yang pasti akan sewot karena kena limpahan pekerjaan Aruna.
"Kamu yakin, mau kerja besok?" Sebelum tidur, Afzan harus memastikan.
Aruna mengangguk yakin. "Ga enak sama yang lain.”
Afzan memasang wajah khawatir. Ingin melarangnya bekerja, tapi tak bisa.
"Besok saya yang antar ke kantor, ya?"
"Ga usah, masa kamu mau bolak-balik?"
"Ga apa-apa. Saya bisa mengantar kamu setelah selesai menyiapkan bahan di kedai."
Aruna ingat kalau Afzan sangat ingin bisa diandalkan. Maka ia tak mau menolak keinginan Afzan.
Pukul tiga dini hari Afzan sudah bangun, menunaikan kebiasaannya kemudian berangkat ke masjid. Saat langit masih gelap ia segera pergi ke kedai. Gesit sekali ia mempersiapkan bahan yang sebagian besar sudah ia siapkan malam hari sebelum pulang. Afzan dibantu Rizwan bekerja lebih cepat karena waktu Afzan terpangkas lagi untuk membantu di kedai.
Sebenarnya, Afzan tak enak hati pada Rizwan yang harus ikut ke kedai lebih pagi. Ia harus membawa Medina yang masih mengantuk dan akan kembali tidur di kamar Afzan, di lantai atas rukonya.
Rizwan mengerti betul kekhawatiran Afzan. Dia sudah tahu watak sahabatnya yang mudah khawatir. Ia punya kekhawatiran tersendiri tentang ditinggalkan. Maka Rizwan rela saja bila Afzan minta tolong, demi menghapus kekhawatiran sahabatnya itu.
Tepat pukul tujuh, ia sudah sampai di depan rumah. Wajahnya berkeringat walau ini masih pagi. Ia menemui Aruna yang sedang sarapan bersama orang tuanya.
"Loh, Mas Afzan, kok pulang lagi?" Bu Maryam menatap heran.
"Ada yang ketinggalan?" sambung Pak Adnan.
Aruna memang belum bilang akan diantar Afzan ke kantornya.
“Mas Afzan mau nganterin aku," Aruna menyerobot ucapan Afzan yang hendak menjawab.
Memang sangat merepotkan harus bolak-balik mengantar Aruna dan ke kedainya. Namun, kecelakaan Aruna kemarin menambah daftar cemas Afzan. Ia lebih rela kerepotan daripada dihantui perasaan bersalah, tak bisa diandalkan.
"Mas, Ibu benar. Kamu kerepotan kalau harus antar jemput aku."
Suara Aruna terdengar jelas walau berbarengan dengan suara klakson kendaraan yang ramai.