Malam ini ada sebuah haru merasuk di hati Pak Adnan. Ia memastikan Aruna dan Afzan sudah tidur. Ia tak mau anaknya melihat sang ayah yang tengah bersedih karena keputusan Aruna yang ingin tinggal di ruko Afzan.
Pak Adnan duduk di ruang tengah dengan album foto masa kecil Aruna di pangkuannya. Ia sengaja mengenakan kaca mata agar jelas melihat wajah mungil Aruna. Foto di album itu sangat terawat dan tertata rapi. Foto Aruna saat bayi, balita, anak-anak hingga foto saat ia duduk di bangku SMP terselip di sana.
Pak Adnan menghela nafas berusaha menahan haru yang siap jadi bulir air mata. Menatap foto dengan mata basah. Sampai ia tak sadar, sang istri sudah berdiri di sampingnya.
"Belum tidur, Pak?" Bu Maryam ikut duduk di samping Pak Adnan yang secepat kilat menyeka air mata yang sudah di ujung matanya.
“Lagi kangen Aruna kecil kita, Bu."
Bu Maryam tersenyum simpul, mengerti betul perasaan suaminya. Ia ikut membuka album lain dari laci meja tamu. Ikut mengarungi kenangan lewat gambar. Menatap foto Aruna kecil yang memang sudah manis sedari kecil.
"Dulu, Runa mana mau nginep sendiri. Kalau pengen banget nginep, kita dipaksa nginep juga." Bu Maryam lebih cepat terharu dibandingkan suaminya. Sekarang, dia malah sudah berderai air mata.
"Sekarang, tiba-tiba minta ikut suaminya." Suara Bu Maryam makin bergetar disertai isak pelan.
Pak Adnan menggenggam tangan Bu Maryam, menggenggam erat. Meyakinkan semuanya sudah tepat.
"Di satu sisi, sedih juga ditinggal anak manja kita. Di sisi lain, ini demi dia sendiri. Dia mau belajar mandiri bersama suaminya, masa kita larang?"
"Lebih banyak sedihnya, Pak."
"Kita bisa datang kapan saja, kan, kalau kangen sama Aruna. Sudah ... kita cuma bisa mendoakan saja. Bapak yakin, Mas Afzan bisa menjaga Aruna dengan baik."
Ucapan Pak Adnan malah makin membuat Bu Maryam sesegukan. Berat. Dua puluh empat tahun, mereka tak pernah terpisah lama, membuat permintaan Aruna untuk hidup mandiri terasa menyakitkan. Walau mereka sadar, ini proses pendewasaan anaknya.
Ternyata, bukan hanya Pak Adnan dan Bu Maryam yang dirundung sendu malam ini. Aruna, diam-diam menguping dari atas tangga. Ia berniat turun untuk mengambil earphone yang tak ada di kamarnya. Namun, langkahnya terhenti mendengar obrolan sendu orang tuanya.
Ia duduk bersandar pada pegangan tangga dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Seakan tengah di uji, keyakinannya terombang-ambing. Maju atau mundur. Menetap atau pergi.
Ah, hatinya sudah tak karuan. Ia kembali ke kamar dengan air mata yang terus mengalir. Afzan yang baru saja keluar dari kamar mandi, setelah membersihkan tubuhnya, terkesiap melihat tangis Aruna.
"Kenapa?" Afzan melempar handuk yang ia pakai untuk mengeringkan rambutnya, mendekati Aruna.
Hanya tangis Aruna yang menjawab.