Pagi ini cuaca cukup dingin. Bahkan bekas air wudhu tadi saja masih terasa dinginnya di tubuh Aruna. Namun ia heran, darimana kehangatan ini? Bekas dingin tadi menghilang, berganti hangat. Nyaman sampai tak ingin dilepas.
“Aruna, saya ga keberatan dengan hukuman ini. Tapi, saya harus mengangkat ayam dari dandang besar itu." Afzan mengangkat tangan mereka yang masih saling menggenggam.
Aruna baru sadar, dari situlah sumber kehangatannya pagi ini. Sedari tadi bercerita, Aruna tak melepas genggaman tangan, yang menurutnya itu hukuman karena kemarin Afzan menggenggam tangannya tanpa permisi, saat di kedai sate.
Ia melepaskannya segera. Mencari arah pandang sembarang. Afzan bergegas mengangkat ayam utuh dari dandang besar yang kuahnya terlihat berminyak. Kaldu ayam keluar sempurna. Asap mengepul begitu ayam terangkat. Ada sekitar sepuluh ekor ayam yang direbus dalam dua dandang.
"Banyak banget. Sehari habis?"
"Alhamdulillah. Namanya jualan, setiap harinya, kan ga tetap."
Aruna mengangguk setuju.
"Setiap hari, kamu bangun sepagi ini?"
Afzan mengangguk masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Kedainya, tutup jam berapa?"
"Biasanya, jam lima."
Aruna menatap curiga. " Kok, kalau pulang ke rumah malam?"
Afzan tersenyum mendengar nada curiga dari Aruna.
"Karena saya harus prepare buat besok pagi. Kalau saya mulai masak ba'da subuh, ga akan sempat."
Aruna semakin merasa bersalah, namun ia bersyukur keputusannya untuk tinggal di sini sudah tepat. Waktu istirahatnya ia gunakan untuk persiapan esok hari, kemudian dini hari dia tetap bangun di jam yang sama. Terbayang oleh Aruna lelahnya Afzan selama ini. Hebatnya, tak pernah ada keluhan keluar dari mulut Afzan.
Aruna menatap bangga suaminya. Peci putih yang ia kenakan, lumayan menambah sisi manis di mata Aruna. Mirip Pak Haji. Pikirnya.
"Kenapa?" Afzan melihat senyum Aruna tertuju padanya.
"Kenapa ga pakai topi chef aja?"
"Entah, lebih nyaman dengan peci atau topi."
Aruna terkekeh pelan, masih dengan pemikirannya.
"Kayak Pak Haji."
"Aamiin ..." sahut Afzan sumringah.
Mereka masih terbalut senyum saat Rizwan dan Medina datang mengucap salam. Medina mendekati Afzan, mencium tangannya. Kemudian juga melakukan hal yang sama pada Aruna. Wajah Medina masih terlihat mengantuk.
"Eh, aku ke atas, ya. Sekalian siap-siap. Yuk, Medi, kita ke atas."
"Iya, Kak."
Medina digandeng Aruna berjalan menaiki tangga. Terdengar Medina bicara sebal karena masih sangat mengantuk, tapi dia harus dibawa kesini.
Sementara Rizwan sudah mengarahkan pandangan jahilnya pada Afzan. Menggoda dengan senyum dan siul tak jelas.
"Sepertinya tidak serumit cerita di awal."
Afzan hanya tersenyum simpul.
"Iya, memang terkadang rumit itu hanya urusan pikiran. Saat dijalani, tidak seburuk itu, kan? Sepertinya, jurus dari saya jitu. Kamu, sudah praktekan, ya?" Rizwan menyelidik.
Jurus memberi peluk saat pelik. Rumus itu sudah dipraktekkan, tapi ia tak menjawab. Walau demikian, wajah malu-malunya menjawab sudah pertanyaan Rizwan.
Dari atas, Aruna sudah mulai mendengar suara-suara asing ramai bicara. Obrolan tentang persiapan pekerjaan yang akan mereka selesaikan hari ini, membicarakan bos yang menyebalkan karena memaksa lembur, atau sekedar mereview pertandingan sepak bola semalam.