SELEPAS AKAD DENGANMU

Lail Arrubiya
Chapter #34

SAD-34

Langit di luar sudah dipenuhi warna jingga berpadu dengan gelap. Kumandang adzan sudah terdengar sedari tadi. Afzan dan Aruna takzim mendirikan sholat magrib berjamaah di kamarnya. Lantunan surat Al-fatihah mengalun mendayu merdu. Aruna khidmat mendengarkan. Hingga sholat tiga rakaat itu diakhiri dengan salam sebagai penutup sholat. Afzan berdzikir sebelum akhirnya menghadapkan wajahnya pada Aruna. 

Kemudian Aruna mencium tangan Afzan dengan takzim. Jangan tanya, berapa besar cahaya cinta yang terpancar dari keduanya. Maklum saja, setelah sedikit bertengkar karena cemburu, mereka makin bucin setiap harinya.

"Di dunia saja saya sudah bahagia, bisa melihat bidadari sehabis sholat."

Kalimat semacam itu tidak sekali dilontarkan Afzan, ketika mereka usai sholat berjamaah. Aruna bukan tak mengerti maksudnya, tapi ia memang belum siap mengenakan jilbab. Ia merasa masih kurang pantas mengenakan jilbab. Kurang pantas dalam dua hal. Yang pertama karena ia sadar sikapnya jauh dari definisi wanita sholeha, ia masih suka marah-marah tidak jelas. Mengaji masih terbata, bahkan hafalan bacaan sholat saja baru kali ini ia sungguh-sungguh menghafalkan maknanya. Malu rasanya, jika sudah berjilbab lalu ada pertanyaan tentang agama, ia tak bisa menjawabnya. 

Yang kedua, ia merasa tak pantas karena wajahnya tidak biasa mengenakan jilbab. Jadi aneh saja membayangkan dirinya dengan jilbab. Pasti akan terlihat lebih tua.

Beruntungnya, Afzan tak pernah memaksakan perihal itu. Afzan lebih memilih cara halus mengingatkan Aruna.

Namun, kali ini berbeda. Afzan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari lemari, kemudian memberikannya pada Aruna. Perlahan Aruna membukanya. Sebuah jilbab berwarna coklat susu terlipat rapi di dalamnya. 

"Saya membayangkan kamu mengenakan ini, pasti sangat manis. Saya harap, suatu hari kamu mau mengenakannya."

"Aku belum siap, Mas. Aku masih merasa belum pantas mengenakan jilbab. Kamu tau, kan ... aku orangnya seperti apa?"

"Aruna, jilbab bukan tanda dia sudah sempurna akhlaknya. Jilbab itu tanda bahwa ia taat atas perintah Allah."

Aruna diam beberapa detik dengan wajah tertekuk halus.

"Jadi maksud kamu, aku ga taat? Aku udah mulai sholat lima waktu, loh. Aku juga belajar ngaji lagi sama kamu."

"Bukan gitu," sela Afzan berusaha memurnikan ucapan yang akan menjerumuskannya pada pertengkaran.

 Aruna sudah kadung kesal, ia membuka mukenanya, melempar sembarang, dan berbaring membelakangi Afzan yang mengikutinya.

"Aku tahu, aku bukan istri sholehah seperti impian kamu, kan? Ga seperti Sofia, kan?"

"Hei," seru Afzan menyentuh pundak Aruna, tapi ditepis olehnya.

"Aku memang ga pandai ngaji, sholat masih harus diingetin, bahkan masih suka marah-marah sama kamu. Aku bukan istri sholeha. Kalau nanti kamu masuk surga, biarin, aku ga akan narik kamu ikut masuk ke neraka, kok.”

"Aruna!" Suara Afzan tegas sekarang.

Suara isak langsung terdengar beberapa detik setelah suara tegas dari Afzan. Luluh lagi perasaan Afzan. Ia mana bisa melihat Aruna menangis.

"Sayang ..." Kini Afzan membelai lembut rambut Aruna.

"Saya ga bermaksud bilang begitu. Saya hanya ingin kamu sempurna menjalankan perintah Allah. Saya suami kamu. Kamu tanggung jawab saya. Mana bisa saya masuk surga sendirian? Bisa kesepian saya di sana. Bidadari saya, kan hanya Aruna Siti Khodijah."

Aruna tak menjawab, isaknya masih terdengar. Afzan masih ingat jurus jitunya, bahwa peluk bisa meringankan pelik. Dari belakang, ia memeluk Aruna yang masih menangis. Sepertinya Aruna sedang sangat sensitif akhir-akhir ini.

Pagi ini, Aruna lebih cepat turun ke bawah untuk menemui Afzan di kedai. Aruna, seperti biasa, sudah sangat cantik dengan tampilan wanita kantorannya, duduk menunggu Afzan.

"Mau sarapan sekarang?" Afzan yang sedang membungkus soto menyempatkan menoleh pada sang pujaan hati yang belum bicara padanya sejak semalam.

Aruna mengangguk kecil, kemudian menghampiri Afzan.

Lihat selengkapnya