Beberapa hari ini, pagi Aruna sedikit melelahkan. Ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Perutnya yang hanya terisi teh hangat dikuras habis. Tubuhnya kembali lemas, kepalanya pusing.
Afzan dengan insting suami siaganya, menghampiri Aruna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Memapahnya sampai duduk di sofa. Membuatkan (lagi) teh hangat.
"Pusing banget, Mas," rengek Aruna.
"Sabar, ya ..." Afzan memijit tengkuk Aruna sambil diolesi minyak kayu putih.
"Gimana aku bisa kerja sekarang?"
"Ga usah mikirin kerjaan dulu, kondisi kamu lagi begini. Minum dulu tehnya."
"Kalau minum, mual lagi." Aruna mulai menggerutu kesal.
"Tapi perut kamu kosong."
"Aku mual, Mas!" Aruna mulai tak nyaman dengan kondisi baru banginya.
Afzan mengerti, ia sudah mulai membaca buku mengenai kehamilan. Ia harus mengerti bagaimana caranya menghadapi istri yang sedang hamil. Moodnya akan naik turun, maka Afzan memilih untuk lebih bersabar menghadapi Aruna.
Aruna sebelum hamil adalah bentuk latihan buat Afzan, dan ujiannya adalah hari ini.
Sore hari, Kirana sudah berjanji akan menjenguk Aruna yang sudah tiga hari tak bekerja. Sebenarnya, Dimas berniat ikut, tapi Kirana melarang dengan alasan Aruna yang tinggal di ruko, tak nyaman rasanya jika Dimas ikut naik ke atas tanpa ada Afzan yang menemaninya ngobrol.
“Mas, Aruna di atas, kan?" pertanyaan Kirana terdengar basa-basi. Jelas-jelas ia sudah tahu Aruna menunggunya. Ia hanya ingin melihat Rizwan walau sekilas.
"Iya, temenin, deh. Nyaris seharian dia ga enak badan."
"Eh, Medina sudah mulai sekolah, ya?" Kirana mencari cela agar bisa bicara dengan Rizwan yang sedang duduk dengan Afzan di meja pelanggan.
"Iya, ikut bimbel aja. Sambil main-main."
"Setiap hari masuk?"
Kirana masih mencari alasan agar bisa lebih lama bicara dengan Rizwan. Kebetulan kedai sedang sepi. Ia merasa tak mengganggu pekerjaan Rizwan. Lima menit berlalu, Kirana masih punya amunisi obrolan. Hingga, suara Aruna menyeru memanggil nama Kirana.
"Ditungguin dari tadi juga," gerutu Aruna saat Kirana sudah duduk asik di sofa dengan laptop yang ia keluarkan. " Modus, ya?"
"Gimana, dong, Run. Gue beneran suka sama Mas Rizwan."
Aruna menghela nafas saat memberikan segelas minuman dingin dari lemari esnya.
"Bilang aja."
"Gila lu!" sergah Kirana, "mana berani gue. Walaupun ada emansipasi wanita boleh menyatakan perasaannya terlebih dulu, tapi gue ga siap."
"Ampun, deh! Kirana yang gue kenal pemberani ternyata ciut kalau soal cowok."
Aruna menarik laptop Kirana dan mencari beberapa data yang ada di dalamnya. Mengotak-atik folder milik Kirana. Di sana ada beberapa pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Aruna.
"Minggu depan Mas Iwan mau ke Kertapati. Instal mesin. Jadi, banyak dokumen yang harus disiapin. Harusnya kerjaan lu, tuh." Kirana meneguk minuman yang disediakan Aruna, kemudian menyilakan kakinya di sofa.
"Maunya gue juga, besok masuk. Tapi, gusti ... pusing banget. Lemes, Ran."
Kirana hanya mengangguk tak tau harus bilang apa. Dia belum merasakan apa yang Aruna rasakan sekarang. Tapi melihat wajah Aruna sudah menjelaskan ia sedang tak enak badan.
"Oh, iya ... akhir bulan ini, kita mau reuni. Reuni kelas aja, sih. Dan, lu tau? Deasy, dia mau balik ke Indonesia dan ikut reuni."
"Hah? Deasy? Serius? Udah lama banget ga ketemu dia. Dan, kita lost contact, kan."
"Makanya, lu harus ikut."