Hari ketiga Aruna tinggal di rumah orang tuanya, Afzan datang menemui Aruna. Sayangnya, ia tak ingin bertemu Afzan. Bu Maryam yang menyampaikan pesan Aruna pada Afzan, tertunduk tak bisa membujuk Aruna bertemu suaminya.
"Mas Afzan sabar, ya. Mungkin Aruna masih labil. Dia butuh waktu buat menerima semua ini," ucap Bu Maryam menenangkan hati Afzan.
Walau Aruna tak bicara perkara masalah lain antara ia dan suaminya pada Bu Maryam, tapi insting Bu Maryam sebagai orang tua sudah mengira, ada sesuatu di luar masalah kegugurannya. Sebagai orang tua, mencampuri urusan rumah tangga anaknya, hanya akan memperkeruh suasana. Maka, Pak Adnan dan Bu Maryam sepakat hanya akan menjadi penengah antara keduanya.
Sudah tiga hari Aruna masuk kerja. Tiga hari setelah kedatangan Afzan ke rumah orang tuanya. Selama tiga hari itu pula ia tak mendapat kabar dari Afzan. Awalnya Aruna tak peduli dengan itu, namun kini, ada perasaan khawatir. Ia takut hubungannya benar-benar akan berakhir, meski sebelumnya ia merasa sudah menyiapkan hati untuk hal terburuk yang mungkin akan terjadi.
“Run, sorry, gue bukan mau ikut campur ..." suara Kirana terbata saat hendak mengusulkan sesuatu, ketika mereka makan siang di kantin. "Lu yakin mau begini terus? Kata Mas Rizwan, kedai udah tiga hari tutup. Mas Afzan juga ga mau ketemu siapa-siapa. Lu ... ga coba menghubungi suami lu?"
Aruna menatap dingin ke arah Kirana, "kenapa jadi lu yang khawatir?"
Kirana menelan ludah. Sepertinya Aruna masih sensitif. Masalah ini belum bisa disinggung. Aruna memilih pergi meninggalkan makanan yang masih tersisa banyak.
Beberapa hari ini, walau mantap untuk kembali beraktifitas, namun belum seutuhnya Aruna bisa menerima keadaan. Ia tak bernafsu makan, wajahnya tak ceria bahkan terkesan dingin dan datar.
Ucapan Kirana barusan memenuhi benaknya. Ia mulai khawatir pada Afzan, tapi kemudian egonya menutupi dengan cerita malam itu, saat ia kehilangan calon anaknya. Aruna masih menyalahkan Afzan atas semua yang terjadi.
Menjelang sore, ia yang terbiasa menerima pesan dari Afzan membuka ponselnya. Ia tak mendapati pesan itu. Ia mengeluh, menghardik dirinya sendiri. Mana mungkin ia menghubunginya.
Baru akan memesan ojek online, sosok pria penyelamatnya waktu itu tepat berhenti di depannya.
"Runa, kamu udah pulang?"
Aruna menatap heran melihat Adrian. Kenapa dia ada di sini? Pikir Aruna.
"Bareng aku, yuk!"
Aruna masih bingung menatap Adrian. Kalau ini kebetulan, terasa sangat aneh.
"Oh, aku udah pesan ojek online tadi," Aruna berdalih. Padahal ia belum sempat mengklik tombol order di ponselnya.
"Oh," gumam Adrian tanpa berniat pamit saat ini. "Aruna, kamu sudah sehat?"
Aruna mengangguk sambil melempar senyum yang terlihat sangat manis di mata Adrian.
"Runa ... aku masih menunggu kamu. Kalau, dia menyakiti kamu, perasaan aku masih tetap sama."
Aruna mengerutkan alisnya. Terkesiap mendengar pengakuan Adrian.
"Ad, dalam rumah tangga bertengkar itu pasti ada. Kemarin, aku terlalu cemburu sampai melukai anak kami. Walau begitu, ga ada niatan di hati aku buat ninggalin Mas Afzan."