Sudah dua hari Afzan tak menunjukan perubahan, dia masih terpejam tak merespon apapun yang Aruna katakan. Dua hari pula Aruna tak beranjak dari sisi Afzan. Walau sudah diminta bergantian menjaga Afzan, Aruna menolak. Ada perasaan bersalah dalam dirinya. Ia belum menyampaikan permintaan maaf pada Afzan atas sikap menyebalkannya beberapa hari ini.
Aruna tak bisa menahan air matanya untuk tak turun saat menatap Afzan. Wajah yang ingin ia lihat senyumnya saat datang menjemputnya sore itu. Saat rindu sudah ingin terobati, justru kini rindu itu kian membuncah. Bagaimana tidak, orang yang ia rindukan ada di hadapannya namun tak bisa ia rengkuh seutuhnya.
"Mas, kamu denger aku? Kamu kuat, ya. Aku ... janji, kalau kamu bertahan dan kembali sembuh, aku akan lebih taat sama kamu. Semua perintah kamu akan aku lakukan, asalkan kamu bangun, ya." Mata Aruna basah lagi. Air mata mengalir begitu saja walau ia tahan agar tak terurai.
Aruna kembali memutar kenangan indahnya bersama Afzan. Pertemuan pertama Aruna dengan Si Cowok Kutub, begitu panggilan Aruna di kesan pertama pertemuannya. Sikap dingin yang ternyata menyimpan kehangatan. Lalu, ia ingat jelas setiap kali ia kesulitan Afzan datang bak malaikat seperti sudah direncanakan turun untuknya. Tentu saja direncanakan, itu rencana Tuhan untuk mempersatukan mereka.
Aruna juga ingat, bahwa dialah yang meminta Afzan menikahinya tapi justru Afzan yang berjuang sendiri untuk mempertahankan rumah tangga yang didasari tanpa saling mencintai. Hingga akhirnya, kelembutan hati dan perlakuan baik yang ia terima dari Afzan, seketika menerobos ruang di hati Aruna yang dulu diisi oleh Adrian. Menghilangkan perasaan cinta delapan tahunnya pada Adrian.
Banyak perubahan dalam hidup Aruna setelah mengenal Afzan. Afzan yang dermawan mengajarkannya bahwa harta yang ia miliki bukan milik dia seutuhnya. Lalu sikap ramah pada tetangga menunjukan bahwa betapa indahnya hidup rukun dengan tetangga, saling membantu saat kesulitan. Karena sebelum saudara jauh, tetangga lah yang akan lebih dulu membantu.
Dan yang paling ia sadari kini, ketika Adrian hendak melakukan perbuatan tidak senonoh pada dirinya, ia menyadari bahwa tubuhnya hanya milik suaminya. Semua yang mesti tertutup, harus ditutup.
Sekarang, saat Afzan terbaring tak berdaya di tempat tidurnya, Aruna baru menyadari betapa semua kebaikan itu dapati dari hidupnya bersama Afzan. Keegoisan yang mengarah pada kesombongan, seakan ia bisa hidup tanpa Afzan, runtuh. Ia menyadari betapa ia tak sanggup kehilangan Afzan. Melihatnya tak merespon setiap ucapannya saja, membuat Aruna tergugu menatap Afzan. Apalagi jika Afzan pergi.
Kembali Aruna tergugu menciumi tangan Afzan. Berkata lirih, " aku ga sanggup kalau kamu pergi, Mas."
Tak ada jawaban dari Afzan.
Aruna terus berada di sisi Afzan, walau hanya untuk tidur. Ia tidur dengan posisi duduk bersandarkan di sebelah Afzan. Sudah dua hari ia tak tidur nyenyak. Dan malam ini, rasa kantuk itu menyerang lebih awal. Ia tertidur persis di samping Afzan mengenakan mukena yang sedari selesai sholat isya tak ia lepaskan.
===
"Ayah, ayo!" seru gadis kecil berjilbab putih menarik tangan Afzan.
Afzan yang semula mengikuti keinginan gadis kecil itu, tiba-tiba berhenti melangkah.
"Kamu duluan, ya, Sayang. Ayah harus menemani Ibu dulu."
Aruna mengira gadis kecil itu akan merajuk. Tapi gadis kecil itu justru berlari, menghambur dalam pelukan Aruna.
"Aku duluan, ya, Bu. Besok kita berkumpul bersama."
Aruna menangis memeluk erat gadis kecil itu. Ia terisak tak ingin melepaskannya. Berat sekali untuk membiarkannya pergi. Dengan lambaian tangan, gadis kecil itu terus tersenyum menjauh dari Aruna dan Afzan. Hingga tak terlihat sosok gadis kecil itu hilang dalam kabut putih yang terasa sejuk.
Aruna tahu itu mimpi. Ia tak ingin bangun untuk bisa melihat lebih lama gadis kecil itu. Tapi sebuah belaian pelan membangunkan Aruna. Ia bangun dengan mata yang basah. Menatap tangan yang membelainya. Maka bertambah basah mata Aruna, dibarengi syukur tiada tara.
"Mas Afzan ..." lirih Aruna memanggil nama yang sudah ia rindukan selama ini.