Senja tidak datang hari itu, langit hampir tidak menampakkan warna putih yang cemerlang, semuanya menjadi abu-abu. Jalanan kota masih riang dengan bunyi klakson kendaraan. Ahsan terlihat sedikit kecewa saat lampu hijau tak didapatkannya, sebab mendadak ia merasa rindu dengan ponselnya yang tertinggal, betapa tidak rindu, jika hubungannya dengan kekasihnya sangat bergantung dengan ada atau tidaknya alat komunikasi itu. Namun, dibalik kerinduan yang membuncah, rasa bersalah kini juga menyelimuti batin Ahsan, namun ia masih tidak menyadari dimana letak kesalahannya. Fikirannya terus tertuju pada gadis yang baru dikenalinya tadi siang, Ahsan mendadak bingung dengan apa yang harus dia lakukan saat ini. Tentu saja Ahsan tidak mungkin membiarkan kejadian tadi siang menjadi sesuatu yang akan terlewatkan begitu saja seakan tidak ada apa-apa. Ahsan harus melakukan sesuatu, tapi apa? Meminta maaf? Untuk apa?
Tak terasa dengan ditemani berbagai pemikiran yang seolah menjadi beban, motor yang dijalankannya sampai di halaman rumahnya, matanya mendadak menyipit ketika memandang dua orang yang sedang bercengkrama di teras rumah, dua orang perempuan yang dikenalnya, Ibu dan Deyanda, kekasihnya.
"Akhirnya kamu pulang juga, San. Kamu kebiasaan deh ga bawa hape. Kan calon mantu mamah jadi nungguin kamu berjam-jam"Ucap wanita paruh baya itu, sembari menyalami anaknya yang baru sampai di rumah, wajahnya begitu senang menatap ke arah Deya yang mempunyai lesung dikedua pipinya itu.
"Mamah masuk dulu yah"
Ahsan dan Deya mengangguk, sementara Ahsan kini melihat kekasihnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Merasa heran dengan penampilan kekasihnya. Langkahnya semakin mendekat dengan gadis itu, hingga hanya tersisa satu langkah lagi. Tangan Ahsan hendak menyentuh kedua bahu Deya, Deya spontan menjauh dari Ahsan.
"Dey, kenapa sih?"Ucap Ahsan memulai percakapan, ia mencoba kembali mendekati Deya, dan berusaha untuk meraih kedua tangan Deya. Deya kembali menghindar. Mata Ahsan berkaca-kaca.
"Em, San. Duduk dulu gih. Biar aku jelasin"Ucap Deya.
"Maaf ya, tadi ga sengaja hape aku ketinggalan"
Deya tersenyum menunjukkan kelembutannya sebagai perempuan, lalu menggeleng pelan.
"Enggak apa-apa, San. Aku ngerti kamu sibuk. Aku justru datang kesini untuk meminta maaf sama kamu"Tutur Deya, Ahsan memandang Deya dengan penuh cinta. Hubungannya dengan Deya sudah berlangsung 4 tahun, sejak ia mengenyam Pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Namun saat ini mereka melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Meski begitu, jarak antara tempat mereka berkuliah tidak terlalu jauh. Selama satu semester ini, seringkali Ahsan menemui Deya di indekostnya, sementara terkadang Deya juga menemui Ahsan di rumahnya, atau mereka bisa menghabiskan waktu untuk menonton dan makan bersama. Namun kedatangan Deya hari ini begitu mendadak setelah satu bulan mereka tidak bertemu.
"Apa, sayang?"Tanya Ahsan, kini giliran mata Deya yang berkaca-kaca.
"Tapi, penampilan kamu kok berubah gini? Pakai hijab syar'i gini? kok bisa?"Tanya Ahsan ketika Deya baru ingin berucap.
"Aku ingin hijrah, Ahsan"Sahut Deya, hampir tidak terdengar. Ahsan terdiam cukup lama, pandangannya seolah kosong menghadap taman hijau di hadapannya. Ahsan menunggu lanjutan kata dari kekasihnya.
"Aku enggak mau pacaran. Aku mau kita putus"Ucap Deya, Tatapan wajah Ahsan langsung tertuju pada Deya.
"Dey, ya udah kalau kamu pengin hijrah, aku dukung kamu. Tapi jangan putus ya, kan kita udah empat tahun bareng, lagian selama pacaran juga kita nggak pernah ngapa-ngapain kan?"
"San, kalau memang kenyataannya ga ngapa-ngapain, ngapain kita pacaran?"Sahut Deya, dahinya mengerut.
"Dey, apa sih? Jangan bercanda gitu. Ahsan sayang sama Deyanda"Ucap Ahsan, tatapannya penuh harap.
"Maaf, San. Aku nggak bisa bertele-tele. Maaf aku sudah memutuskan dan ini adalah pilihan yang tepat. Terima kasih untuk semuanya ya, San. Ini pemberian terakhir dari aku"Ucap gadis itu, menahan segala gemuruh dan emosinya. Lalu meninggalkan Ahsan seorang diri dengan sebuah buku bersampul warna biru. Ahsan memandang pilu kepergian perempuan yang kini telah menjadi mantan kekasihnya, tak akan pernah mampu lagi ia untuk mengejar, tak akan pernah mampu lagi ia untuk berjalan, dan tak akan pernah lagi ia merasa mampu untuk menahan kepergiannya. Sebab detak jantungnya seolah sedang tersembunyi untuk tidak menampakkan, kegetiran akan rasa semakin dirasa, namun hidup adalah proses pendewasaan, dimana ketika kita merasa ketidakadilan berpihak kepada kita, maka tak ada pilihan lain, selain bertahan untuk menghadapinya.
Ahsan memasuki rumahnya dengan penuh kekecewaan, meninggalkan buku bersampul biru itu di atas meja. Berusaha untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa dihadapan ibundanya, kembali tersenyum menyembunyikan kepedihannya.
"Ahsan langsung ke Kamar ya, Mah. Oh iya nanti setengah delapan teman-teman kuliah Ahsan mau datang ke rumah. Mau bahas tentang keperluan organisasi"Tutur Ahsan, Ibundanya tersenyum, seakan mengerti bahwa ia harus menyiapkan berbagai cemilan dan minuman untuk tamu sang putra tercintanya. Ketika Ahsan baru membalikkan badannya, ibundanya memanggil Ahsan.