Tak terasa matahari kembali membenamkan beban panasnya, kali ini senja nampak terlihat begitu ceria. Ahsan masih berbaring santai menikmati proses terangnya bumi menjadi gelapnya langit. Tangannya menyentuh foto yang ada di atas meja kecilnya, memandangi gadis yang pernah dimilikinya dengan rasa sesak yang menghujam dalam dada. Seperti ada beban yang tak pernah bisa ia tinggalkan, rasa sakit yang ia rasakan seakan menghujam keras menjadi satu peluru yang siap menembaknya dalam keadaan ketidaksiapan dirinya. Ia tak pernah menyangka hubungannya dengan Deya akan berakhir sesingkat kata putus sore kemarin. Ahsan meletakkan foto itu di tempat semula, tak pernah ada setitik niat dalam dirinya untuk tidak memajangnya lagi. Sejenak dengan nafas yang terlihat begitu berat, Ahsan melirik buku bersampul biru itu. Tangannya perlahan menyentuh buku itu dan hendak membukanya. Namun, ponselnya yang berdering terlanjur mengalihkan perhatiannya, sepatutnya ia telah menduga-duga sebelumnya, bahwa mantan kekasihnya pasti akan kembali pada dekapannya. Kali ini berbeda, bukan suara suram yang ia dengar dari seberang sana, tapi suara yang lebih suram lagi. Mata Ahsan berkaca-kaca mendengar penjelasan singkat Deya. Ahsan mencari jaketnya dengan keadaan panik, bergegas untuk menggunakan pakaian yang lebih layak dari kaos oblong dan celana pendek yang ia kenakan sebelumnya. Ahsan bahkan tidak sempat berpamitan pergi dengan penghuni rumah lainnya. Suara gas motornya terdengar lebih keras dan menghilang dengan begitu cepat menuju indekost Deya.
Empat puluh lima menit kemudian ia sampai di sebuah kamar kost yang terdiri dari tiga petak itu, kamar itu terlihat sangat rapih dan bersih, namun bukan itu yang menjadi fokus utama Ahsan. Ia terlihat sangat khawatir melihat Deya yang saat ini berada di petak yang berisi peralatan dapur. Deya berdiri dalam keadaan lemas dengan air mata yang terus mengalir. Deya mengenakan gamis berwarna hitam yang dilengkapi dengan kerudung panjang yang juga berwarna hitam.
“Dey…”
“Ahsan…”Sahutnya lirih. Mata Ahsan semakin berkaca-kaca, tak tega melihat gadis yang dicintainya menderita, Ahsan mendekatkan dirinya dengan Deya, hanya tersisa satu langka. Ahsan hendak menggenggam tangan Deya, juga ingin sekali mendekapnya seperti biasa. Namun ia sangat sadar, bahwa kini ia bukanlah siapa-siapa. Ahsan harus menahan kendali dirinya.
“Yang sabar ya, Dey”Ucap Ahsan.
“Aku nyaksiin langsung, san. Aku…aku…”Lirih Deya tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Aku harusnya nggak pulang ke rumah”
“Ibu udah nggak ada, laki-laki bejat itu sangat jahat!”
“San, aku harus gimana”Ucap Deya sangat lirih, Ahsan menata Deya dengan iba, namun tak bisa berbuat apa-apa selain datang menemaninya.
“Kamu sanggup buat dateng ke pemakaman, Dey ? Ini perpisahan terakhir kamu sama beliau lho”
“Bagaimana bisa ?”Tanya Deya
“Bagaimana bisa aku ninggalin kamu, Dey? Kita berdua kesana, aku temenin, aku akan selalu ada buat kamu, aku akan terus jagain kamu”Sahut Ahsan
“Besok pemakamannya”
Ahsan mengangguk, tubuhnya masih berdiri di hadapan Deya, lalu berkata,
“Dey, udah ya, kita balikkan lagi aja”Ucap Ahsan, mata Deya menatap mata Ahsan dengan begitu dalam.
“Rasanya kurang pas ngomongin hal itu saat ini, San”Sahut Deya dengan nada yang tidak suka. Ahsan menatap Deya dengan ketulusan, wajahnya tertunduk kaku.
“Maaf”Ucap Ahsan dengan penuh kekecewaan, kemudian mendudukkan dirinya di atas sofa ruangan kamar itu.
Kejadian itu sudah terjadi berulang kali, namun malam itu adalah malam terparah yang dirasakan oleh Deya. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa Ahsan sangat percaya diri bahwa Deya pasti kembali, karena luka Deya hanya bisa sembuh dengan adanya dirinya sebagai tempat bersandar. Biarkan waktu yang menjelaskan segalanya, tak perlu semua orang tau rahasia apa yang tersembunyi diantara mereka. Malam itu Ahsan benar-benar memberikan waktunya untuk Deya, memberikan ketenangan yang ia janjikan, memberikan sandaran untuk tidak meninggalkan. Walau semuanya sudah sangat berbeda.
“Obatnya diminum dulu, Dey”Tutur Ahsan
“Iya, nanti. Aku mau tanya boleh?”
“Boleh lah, mau nanya apa?”Sahut Ahsan
“Kalau kamu hilang, aku gimana?”
Ahsan terdiam cukup lama, bingung harus menjawab apa.
“Kamu cari yang lain atau ikutan hilang juga”Ucap Ahsan
“Aku nggak mungkin cari yang lain”Balas Deya.
“Apa aja yang penting kamu Bahagia”
“Kamu kan tau, aku nggak bisa bahagia terus”
“Hemm”
Langit yang sudah menampakkan bintang-bintang itu menjadi saksi, atas rasa belas kasih, rasa sayang, rasa takut, dan rasa trauma yang tertaut dalam hati gadis bernama Deya. Hati kecilnya saat ini kembali merasa berdosa entah karena apa dan sesaat terlintas dalam fikirnya “Apa aku nggak punya tempat bersandar selain Ahsan, ya Tuhan?”.
Mungkin saja saat itu, Tuhan begitu cepat menjawab suara hatinya, bahwa “Akulah Tuhanmu, yang seharusnya menjadi tempat engkau bersandar, Wahai Hamba-ku, tidakkah kalian menyadarinya bahwa Aku ini dekat”
***
Seminggu telah berlalu, disadari atau tidak gadis ini terlihat sangat berbeda, penampilannya sedikit berubah dengan olesan bedak yang tipis dan juga bibirnya yang nampak begitu fresh. Ia berjalan santai menyusuri koridor kampus dengan sebuah headset yang melekat tertutupi kerudung lebarnya. Usfi menikmati setiap dentangan lagu yang di dengarnya lagu yang sering ia dengar, namun tak pernah ia hafal liriknya. Usfi menghentikan langkahnya di sebuah gazebo kampus yang terletak di belakang bangunan fakultasnya. Sore itu keadaan kampus mulai sepi, sehingga hanya Usfi seorang diri yang duduk di tempat itu. Langit sore seakan sudah memberikan kode kepada semesta, untuk tetap menerangi semampunya, meski matahari sudah menenggelamkan jiwanya. Sebuah romantisme semesta harus tetap bertahan lama, yaitu terkait janji semesta yang tak akan pernah menggelapkan dunia dengan kegelapan saat mata manusia tertutup. Bunyi langkah manusia yang mendekati Usfi sama sekali tak terdengar oleh telinganya, seorang perempuan yang juga memakai kerudung Panjang menghampirinya.
“Ada banyak cara buat nggak terus-terusan dengerin musik yang cinta-cintaan, fi. Nih”
Perempuan itu menyodorkan sebuah buku bersampul warna cokelat, Usfi mendongkakan kepalanya, tertarik melihat secara jelas bagaimana wujud manusia yang berada dihadapannya.
“Aisyah ?”
Gadis yang dipanggil Aisyah itu tersenyum manis, senyumnya menyembunyikan ketenangan hatinya, tatapan matanya teduh menyembunyikan bagaimana kebahagiaan yang selalu dirasa dalam hidupnya.