Selepas Hujan

Makrifatul Illah
Chapter #12

IMAM DAN MAKMUM #11

Banyak yang mencari sempurna hingga lupa bahwa diri begitu istimewa di mata orang yang mencintai kita, maka Tak perlu mencari yang luar biasa karena akan lelah sendiri nantinya..

Masih tentang senja yang tengah tenggelam menuju ke peraduannya, terdengar kumandang adzhan Magrib menggema dengan merdu menambah kesyahduan hari ini, bersamanya aku masih menikmati hawa dingin yang menyeruak oleh angin yang mulai riuh agar burung-burung segera pulang ke tempatnya, Mataku terus saja menatap langit yang telah berganti warna menjadi gelap, sesekali ku pandangi wajahnya dari arah samping terlihat sekali hidungnya yang mancung, matanya yang berbinar apalagi saat terkena cahaya matahari, beberapa helai rambutnya terlepas dari ikatannya, rambutnya terbawa angin lalu sebagian menutupi wajahnya, aku terus memandangnya hingga senyuman mengembang di bibirku.

''Kenapa memandangiku terus?'' suaranya tiba-tiba terdengar disela-sela aku memandang wajahnya, dengan sekejap aku langsung menatap ke depan membiarkan rasa malu sekaligus gugup karena dia juga menoleh dan menatap wajahku.

''Hem, ga..k pa..pa sih, oh itu udah adzan, aku mau sholat dulu'' aku masih merasa gugup, apalagi dia sekarang seperti mengintrogasiku, segera saja aku melangkah pergi meninggalkannya.

''Ra''

''Iya??'' aku masih gugup bahkan aku belum berani menatap matanya.

''Boleh kan aku jadi imam mu?''

''Hah'' mataku terbelalak, hatiku berdegup kencang, deru nafasku juga masih terdengar ngos-ngosan, padahal aku tidak sedang berlari.

''Gimana Ra, kalau kamu setuju aku akan... '' segera saja ku potong ucapannya.

''Ehm, apa tidak terlalu terburu-buru Pak Presiden?'' jawabku gugup bahkan terpenggal- penggal.

''Lah kan emang sudah adzan Ibu Negara'' dia mengerutkan dahinya, lalu sejenak terdiam, sedang diriku semakin gugup bahkan merasa malu, bisa-bisanya aku tidak mencerna dulu ucapan yang terlontar dari mulutnya.

Ku lirik wajahnya sekilas berusaha meyakinkan diri, semoga dia tidak faham akan ucapan ku barusan namun dugaan ku salah, dia sudah mengembangkan bibirnya sambil terpengkal-pengkal

''Hahahhahaha''

''Tauk ah'' dengusku frustasi lalu melangkah dengan cepat meninggalkannya yang masih tertawa.

''Ibu Negara, tungguin woy'' teriaknya dari belakang tak lepas dari senyumnya itu.

''Ibu Negara, jangan ngambek dong, hahhhhaha''

''Ih, Pak Presiden, udah ah, anggap aja tadi itu aku gak bilang apa-apa'' sungguh aku malu bukan kepayang, hati dan jantungku terus saja berdetak tak karuan, padahal sudah ku netralkan dengan menarik nafas dan membuangnya kembali, tapi usahaku nihil, ia terus saja berdetak, membuat rasa gugupku semakin tak bisa ku kendalikan.

Lihat selengkapnya