Boleh ya, jika misal aku masih mengingatmu, boleh ya, jika aku masih mendoakanmu. Meski aku tau kamu tak lagi menjadi milikku.
Sudah berapa helai tisu yang aku pakai untuk menghapus air mataku. Bahkan kamar ku sudah berserakan dengan helai demi helai tisu yang sudah lusuh, sedang air mata terus saja mengalir tanpa terhenti. Sulit dibayangkan memang, saat semua seperti baik-baik saja, nyatanya tidak. Aku tidak tau juga, apa hanya aku yang terlalu cinta hingga merasa sakit yang tiada tara, atau mungkin, dia juga merasakan hal yang sama dengan ku. Rasanya aku belum bisa membayangkan akan kejadian ini. Sulit ditebak dari sikap yang akhir-akhir ini cuek kepadaku ternyata ini alasannya, bahwa pada kenyataannya, aku dan dia tidak bisa lagi menjadi kita.
Beberapa kali ku yakinkan hati, bahwa tanpanya aku bisa baik-baik saja. Nyatanya, itu tidak benar, buktinya hari ini, aku tengah berbaring tak berdaya di kamar berteman tisu-tisu yang memang aku pakai untuk menghapus air mata.
Semenjak kejadian malam itu, sekarang aku seperti mati rasa, hatiku sakit, jiwaku meronta, orang yang aku percaya tidak bakal menyakiti ku, ternyata dialah yang paling rentan membuat ku terluka.
"Sayang, makan dulu yuk nak, lalu di minum obatnya, biar cepat sembuh nak, di buka dong nak pintunya." ketukan dan suara Bunda terdengar dari bilik pintu kamar, sedang aku tak membalas perkataan bunda, bahkan aku juga enggan membukakan pintu.
Air mataku terus saja menangis, tak peduli walau aku tengah terserang flu gegara terkena hujan kemaren malam, aku merasa bahwa hatiku lah yang tengah kesakitan, sungguh aku belum bisa menyiapkan hati jika dia mengatakan putus dengan ku. Hingga aku kewalahan berdiri.
"Sayang, Ara, nak? Bunda tau memang sulit, tapi coba kamu pikirkan baik-baik nak, kamu juga punya tubuh yang harus di urus, jangan sampai tubuh yang tak berdosa, kamu ajak siksa juga nak, ingat, mungkin dia yang menurutmu baik belum tentu baik di mata Allah nak."
"Iya Bun, Ara Cuma ingin nenangin diri dulu Bun.’’ aku menanggapi ucapan Bunda dari dalam kamar sambil tak kuasa menangis.
"Iya-iya, bunda tau nak, apa yang kamu rasakan, ya udah, kamu tenangin diri dulu saja, biar makanannya Bunda taruh di meja dekat pintu ini ya."
Aku tak menanggapi ucapan bunda, aku sibuk mengurus hatiku yang semakin kacau apalagi mendengar ucapan bunda.
Aku belum bisa menyiapkan hati untuk melupakannya, saat semua kenangan tentangnya selalu hadir dipelupuk mata, masih ku ingat lekat-lekat betapa dia sangat perhatian sekali padaku, seperti ketika aku sakit terkena flu dulu. Dengan sigapnya, dia memperlakukan ku begitu istimewa bahkan terbilang romantis bagiku. Masih ku ingat lekat-lekat di setiap peristiwa tentangnya, seperti waktu itu, semenjak dia terus saja mengajak ku menikmati hujan yang turun di bumi, tanpa di sadari, akhirnya aku terkena flu, badan ku pegal-pegal semua, kepalaku pusing, mataku juga berkurang-kunang bahkan Bunda sedikit menceramahiku karena seringnya aku pulang basah kuyup. Namun bukan ceramahnya bunda yang aku ingat, melainkan perhatian dia yang membuat hatiku meleleh walau terkesan cerewet karena setiap pagi sore dan malam dia selalu menelfon ku dengan pembahasan yang tidak terlalu penting tapi membuat bibirku selalu tersenyum sendiri apabila mengingatnya.
"Assalamualaikum Ibu Negara?"
"Waalaikum salam, Pak Presiden, ada apa?" meski suaraku sedikit serak karena tenggorokan ku juga sedikit bermasalah, namun cukup jelas aku melafalkannya.
"Hem, kamu kenapa? sakit? Sudah ke dokter? terus gimana kata dokternya? sakit apa emangnya?"
" Waduh pertanyaannya banyak sekali, aku tidak apa-apa kok.’’
"Sakit apa Ibu Negara? jangan membuat ku khawatir deh."
"Hehehe, cuma sakit rindu saja sama Pak Presiden."
"Hehehhe, serius Ibu Negara,"
"Ih aku beneran, serius kok."
"Hehehehe, ya udah sekarang udah makan apa belum?"
"Udah."
"Udah minum obat juga?"